Jumat, 29 Juni 2012

MENTALAK ISTRI SEDANG MABUK ATAU MARAH YANG SANGAT




Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya : Seseorang telah mentalak istrinya sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk, benci dan marah yang sangat. Adapun talak yang kedua dan ketiga jatuh sedang dalam keadaan sangat marah. Apakah talak tersebut dianggap jatuh padahal masing-masing masih saling mencintai ? Dan apakah sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi ?
beliau menjawab:
Orang tersebut mengatakan bahwa dia telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebanyak tiga kali, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk dan marah yang tidak terkendali. Adapun talak kedua dan ketiga jatuh dalam keadaan sangat marah, apakah istri dianggap telah tertalak tiga. Saya balik bertanya : “Apakah dia berniat mentalaknya atau tidak ?”.

Orang yang mentalak istri dalam keadaan mabuk, para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka mengatakan bahwa talak orang yang sedang mabuk tidak dianggap jatuh sebab dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Dan sebagiannya mengatakan bahwa talaknya dianggap jatuh sebagai sanksi atas kejahatannya.

Menurut saya, pendapat yang kuat adalah talak dalam keadaan mabuk tidak dianggap jatuh sebab orang mabuk tidak sempurna akalnya dan tidak sadar terhadap apa yang diucapkannya. Adapun sanksi tersebut bukan pada tempatnya sebab sanksi orang mabuk adalah didera, jika mengulanginya lagi terus hingga empat kalinya dibunuh, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang minum khamar, maka deralah, jika minum lagi maka deralah dan jika minum lagi maka deralah dan kemudian jika minum lagi maka bunuhlah”.

Di dalam hadits diatas disebutkan bahwa orang yang mengulangi mabuk ke empat kalinya maka harus dibunuh. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits di atas, apakah mansukh (dihapus hukumnya) atau tidak ? Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits tersebut telah mansukh dan sebagian yang lainnya menyatakan tidak mansukh akan tetapi diberi batasan khusus.

Menurut saya, hadits ini tidak mansukh akan tetapi diberi batasan, artinya seseorang tidak bisa berhenti dari minum khamar kecuali dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh. Dan apabila bisa berhenti tanpa harus dibunuh, maka tidak perlu harus dikenakan sanksi pemubunuhan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa pemabuk harus dibunuh secara mutlak, artinya kapan saja seseorang telah didera sebanyak tiga kali akibat minum khamar, dan jika tertangkap yang keempat kalinya, maka mutlaq dibunuh tanpa ada alternatif lain. Pendapat ini, adalah pendapat madzhab Dhahiri seperti Ibnu Hazm dan para penganutnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits tersebut mansukh. Akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu hadits mansukh kecuali telah memenuhi dua syarat.

Pertama : Jika kedua dalil tidak mungkin bisa disatukan karena makna keduanya saling berlawanan.

Kedua : Dapat diketahui bahwa dalil nasikh (yang menghapus hukum) datang lebih akhir daripada dalil yang mansukh. Apabila ada kemungkinan dua dalil dapat disatukan, maka harus diambil dua-duanya demi menghindari penolakan dari salah satu dalil tersebut, dan jika tidak mungkin melakukan naskh maka sebaiknya berhenti untuk tidak menggunakan dua dalil tersebut, sebab menerapkan naskh dalam hal ini tidak lebih baik daripada meniadakan keduanya.

Adapun talak kedua yang jatuh pada saat sedang marah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemarahan, sebab marah memiliki tiga tingkatan : biasa, sedang dan puncak kemarahan.
Pertama : Marah biasa yaitu seseorang masih dapat mengendalikan dirinya, akalnya dan ucapannya. Artinya ucapan tersebut masih dianggap sebagai tindakan yang wajar sebagaimana orang yang tidak marah.

Kedua : Marah sedang yang tidak sampai pada puncak kemarahan akan tetapi seseorang tidak kuasa mengendalikan diri sehingga terucap dari mulutnya ucapan talak.

Ketiga : Puncak kemarahan sehingga seseorang sama sekali tidak sadar terhadap sesuatu yang diucapkannya dan tidak tahu sedang berada dimana. Ini mungkin terjadi pada seseorang yang mempunyai perasaan yang sensitif sehingga tatkala marah tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak bisa mengendalikan dirinya serta tidak tahu lagi berada dimana sehingga tidak bisa mengenal istri dan orang yang berada di sekitarnya.

Tingkatan marah yang pertama, dianggap seperti orang marah pada umumnya, dan masih terkena beban hukum.

Tingkatan marah yang terakhir seluruh ulama sepakat bahwa orang yang marah sangat yang kehilangan kesadaran dan ingatan, maka ucapannya dianggap seperti ucapan orang gila dan tindakannya dianggap sia-sia karena tidak memiliki keseimbangan lagi.

Adapun tingkatan marah yang kedua yaitu seseorang tahu apa yang diucapkan akan tetapi tidak kuasa menahan diri dan seakan-akan faktor luar yang memaksa untuk mengucapkan kalimat talak, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan pendapat yang benar bahwa talak dalam keadaan seperti itu tidak dianggap jatuh berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Talak tidak dianggap jatuh karena ighlaq (dipaksa atau marah)..”

Jika talak dianggap tidak jatuh karena dipaksa, begitu pula dalam keadaan marah, sebab orang yang marah seperti itu seakan-akan ada faktor luar yang memaksanya untuk mengucapkan talak akan tetapi paksaan tersebut muncul dari dalam. [Durus wa Fatawa Haramul Makkiy, Syaikh Utsaimin, juz 3/258-260]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-2, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]
Adapun fatwa syaikh bin baz adalah:
Wanita dinyatakan tertalak sejak suaminya menjatuhkan talak dalam keadaan berakal serta sadar dalam menentukan pilihan dan tidak ada hal-hal yang mengahalangi jatuhnya talak, seperti gila, mabuk dan semisalnya, dan juga wanita tersebut dalam keadaan suci tidak dicampuri, hamil atau monopause.

Jika wanita ditalak suaminya dalam keadaan haid, nifas atau suci tetapi telah dicampuri, menurut pendapat yang shahih talak tersebut dianggap tidak jatuh, kecuali bila hakim menyatakan jatuh, sebab putusan hakim mampu mentetralisir perbedaan pendapat.

Begitu pula talak tidak dianggap jatuh, bila istri mengaku dan bisa membuktikan bahwa suami mentalaknya dalam keadaan gila, dipaksa atau mabuk serta dalam keadaan marah yang tidak terkendali, meskipun si suami berdosa jika melontarkan talak dalam keadaan mabuk. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hukum tidak dibebankan kepada tiga orang yaitu ; anak kecil sehingga telah baligh, orang tidur sehingga ia bangun dan orang gila sehingga ia sadar kembali".

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman" [An-Nahl : 106]

Bila seseorang tidak bisa dianggap kafir karena dipaksa kafir sementara hatinya tetap beriman, begitu pula orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, padahal tidak ada niat untuk mentalak maka talaknya tidak bisa dianggap jatuh jika memang benar yang menjadi faktor utama dalam menjatuhkan talak adalah pemaksaan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya :Tidak dianggap mentalak dan memerdekakan jika pelakunya dalam keadaan terpaksa" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim].

Dan arti 'ighlaq' menurut sebagian ulama, diantaranya Imam Ahmad, adalah dipaksa atau marah yang sangat tidak terkendali.

Khalifah Utsman Radhiyallahu 'anhu dan sejumlah ulama telah mengeluarkan fatwa bahwa orang yang sedang mabuk, talaknya tidak dianggap jatuh walaupun pelakunya berdosa.

Adapun hikmah disyariatkan talak sangat jelas sekali, karena boleh jadi dalam kehidupan rumah tangga tidak ada kecocokan antara suami-istri sehingga muncul sikap saling membenci yang disebabkan oleh tingkat keilmuan yang rendah, pemahaman terhadap nilai agama yang minim atau tidak memiliki akhlak mulia atau semisalnya. Sehingga talak merupakan jalan keluar yang paling tepat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunian-Nya" [An-Nisa : 130]

[Kitab Fatawa Dakwah wa Fatawa Syaikh bin Baz, 2/235]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]