Maulid Nabi
Soal: apa itu maulid nabi……?
Jawab: secara bahasa maulid berasal dari kata milad yang
artinya kelahiran, dimana perayaan itu di laksanakan pada tanggal 12 rabiul awwal
dengan tujuan merayakan hari kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam, dan
diyakini sebagai bentuk kecintaan kepada rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Soal: apa hukum merayakannya…?
Jawab: perbuatan itu merupakan perbuatan yang di ada-adakan dalam
islam, dan perayaan ini tidak dikenal pada generasi awal ummat ini ( sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in ), dengan kesepakatan ulama ahlus sunnah, berikut
fatwa ulama tentang maulid nabi:
1) al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata
:
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...” ( Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas )
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...” ( Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas )
2) Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.” ( majmu fatawa : XXV/298 )
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.” ( majmu fatawa : XXV/298 )
3) al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan
Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka. ( Al-Madkhal : II/234-235 )
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka. ( Al-Madkhal : II/234-235 )
4) Syaikh ‘ibnu Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...” ( Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas )
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...” ( Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas )
5) Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya (Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas )
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya (Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas )
Dan masih banyak lagi ulama ahlus sunnah yang berfatwa
demikian diantaranya Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri, syekh Muhammad
bin shalih Al-Utsaimin, syekh shalih bin fauzan dan yang lainnya.
Soal: bukankah didalamnya terdapat shalawat kepada nabi yang mana
itu disyari’atkan..?
Jawab: anda benar sekali, shalawat kepada nabi sangatlah dianjurkan
berdasarkan firman Allah : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang
beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan
kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]
namun yang perlu
diketahui adalah sifat shalawat dan kaifiyyatnya, sesuai yang diajarkan
Rasulullah atau tidak. Dan yang biasa dibacakan pada peraayan itu adalah
shalawat-shalawat yang tidak pernah nabi ajarkan ditambah dengan dibaca secara
berjama’ah, tentu ini akan bertambah lagi kesalahannya.
soal: lalu bagaimana sifat shalawat yang
nabi ajarkan..?
jawab: shalawat yang nabi ajarkan adalah
shalawat yang dibaca ketika tasyahhud, namun ada beberapa riwayat yang memberi
tambahan pada lafazh shalawat itu, saya akan sampaikan satu riwayat saja karena
penjelasan ini sangatlah panjang, untuk lebih jelasnya, silakan anda merujuk
pada kitab Al-Masaail jilid kedua karya Al-Ustadz abdul hakim bin amir abdat,
dan kitab2 lainnya yang menjelaskan tentang ini.
“ dari amr bin sulaim az zuraqiy, ia berkata: telah
mengabarkan kepadaku abu humaid as sa’idi, ia berkata: bahwasanya mereka ( para
sahabat ) bertanya, “ ya Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat
kepadamu? Rasulullah menjawab: ucapkanlah oleh kalian: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA
MUHAMMAD, WA ‘ALA AZWAAJIHI WA DURRIYYATIHI, KAMA SHALLAYTA ‘ALA AALI
IBRAAHIIMA, WABARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALA
AZWAAJIHI WA DURRIYYATIHI KAMA BARAKTA ‘ALAA AALI IBRAAHIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ( yang
artinya, Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada istri2nya dan
keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan
berkahilah Muhammad dan istri2nya serta keturunannya, sebagaimana Engkau
memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia )
Dikeluarkan oleh: imam malik, bukhari, muslim, abu daud,
nasa’I, ibnu majah, imam ahmad bin hambal, ath thahawiy, Al-baihaqi.
Itulah lafazh shalawat yang di ajarkan nabi, adapun caranya
yaitu dilaksanakan masing2 tidak secara berjama’ah, karena ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan dengan suara perlahan.
Soal: apakah kita tidak boleh mengagungkan nabi, mengagungkan
namanya, dan mewujudkan rasa cinta kami kepada nabi…?
Jawab: sangatlah harus bahkan wajib bagi kita untuk mengagungkan
Rasulullah, namun tidak dengan cara berlebihan karena Allah dan RasulNya tidak
menyukai sifat ghuluw dalam beribadah, bukankah Allah sendiri sudah mengangkat
namannya, dalam adzan disebut nama nabi, jika orang hendak masuk islam wajib
membaca syahadat dan disitu disebut pula nama nabi, namun dengan cara merayakan
maulid, itu merupakan ghuluw dalam beribadah karena jika itu disyari’atkan,
tentu nabi akan mengajarkannya dan Allah akan menurunkan ilmu tentangnya. Dan
untuk mewujudkan rasa cinta kita kepada nabi yakni dengan cara:
1).
Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla,
menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya.
4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya. (al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193)
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya.
4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya. (al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193)
Soal: yang mendirikan pertama kali maulid nabi adalah solahudin Al ayyubi dan
di sepakati oleh ibnu hajar dan syaikhul islam ibnu taiymiyyah.
Jawab : ini tuduhan yang keji dan membabi buta terhadap ulama
sunnah, baik,, kita periksa apakah benar solahuddin al ayyubi yang mendirikan
maulid nabi dan ibnu hajar serta syaikhul islam pun menyetujuinya?
Kesatu: ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya
sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh
sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan
mengagungkan Rasulullah .”
Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar
sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung
Maulid.
Kalimat selengkapnya
terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut.
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض
الناس ويكون
له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما
يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف
ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال مع أن
مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق
والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره
لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن
ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya
acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan
pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya
bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.
Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ” bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.
Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ” bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.
Coba kita lihat kembali
perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash
Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan perkataan beliau di
atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam mengatakan,
وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى
في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي
صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على
البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن
هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو
راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى
الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في
متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على
ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين
والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا
“Begitu pula halnya
dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani
sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh
jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan
kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka
ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah
berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid
sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan
tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat
maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih
pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka
adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam
kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’
(mengikuti) dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah,
menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau
dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah
jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”
Saya rasa sudah jelas jika
kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau
menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan
yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal
yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih
menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!
Mohon jangan menukil
perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di
halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan
beliau di atas: “Boleh jadi Allah
memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka,
dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.”
Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena memang tidak
pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan oleh Dinasti ‘Ubaidiyyun.
Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena
mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah maulid yang
mereka ada-adakan. Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah
beri kepahaman.
Lebih tegas lagi Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’
Al Fatawa sebagai berikut.
وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ
الْمَوَاسِمِ الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ
لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ : إنَّهَا لَيْلَةُ
الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ
أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي يُسَمِّيهِ
الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا
مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ .
“Adapun melaksanakan
perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri
dan Idul Adha) seperti perayaan
pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid
Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at
dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok
pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah
bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga
tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.”
Renungkan perkataan beliau
baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau
mendukung Maulid.
Kedua : Dan ada perkataan ibnu hajar seperti
ini:
Perkataan berikut dinukil
dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل
بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح
من القرون الثلاثة
ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها
كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في
الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم
عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله
تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع
نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة
كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي
الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في
يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع
قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه - فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل
فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من
التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب
إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي
أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما
كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى
Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl
Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi
sebagai berikut:
“Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan
tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa
melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah
melakukan bid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang
kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka
beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, "Itu hari dimana Allah
menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu
semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada
hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari
mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa
dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca
al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka
bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa
membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan
Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih.
Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka
hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan
ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya
haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".
Sanggahan untuk kerancuan
di atas:
Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah
ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan
ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil.
Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan
hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti
kita pun akan menuai kejelekan.
Sulaiman At Tamimi
mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ
كُلُّهُ
“Seandainya engkau
mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu
kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr
mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui
adanya perselisihan dalam hal ini.”
Al Auza’i mengatakan,
مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ
مِنَ الإِسْلاَمِ
“Barangsiapa yang
mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari
Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama)
bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan
dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.
Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak
diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah
cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,
“Seandainya amalan
tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah
mendahului kita untuk melakukannya.”
Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang
yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka
tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan
bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak
satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi
ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa
saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf
tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.
Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura
adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam
ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan
sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid
ingin merealisasikan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari
pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut
adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim
bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
“Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”
Ibnu ‘Umar mengatakan,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah
sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”
Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan
Maulid yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak
mendorong untuk melakukannya.
Ke enam:
perhatikan perkataan terakhir beliau, “Adapun yang
dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya
dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika
itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram
dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya". Katakanlah maulid
itu diayri’atkan,,,lantas mari kita periksa amalan yang terkandung dalam maulid nabi dengan timbangannya adalah
perkataan terakhir ibnu hajar di atas, di dalam maulid nabi yang sekarang
dilakukan adalah membaca shalawat2 bid’ah dan syirik, terjadi ikhtilath, dan
berdiri ketika membaca “ ya nabi salam… dst “ dengan keyakinan bahwa nabi ikut
hadir disitu,darimana ia tahu bahwa nabi hadir padahal nabi sudah wafat dan
tidak akan bangkit sebelum hari kiamat, bukankah ini suatu kekeliruan, masihkah
kita menganggapnya baik ( hasanah ).
Ketiga: benarkah solahudin al ayyubi lah yang
mengkultuskan maulid..?
Di negeri ini ( Indonesia )
lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam
rangka menyemangati para pemuda. Sejarah telah mencatat bahwa Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi
yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.
Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah
oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161,
XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi
(XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja
al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi
menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya
Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari
al-Adidh. Beliau bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan
melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja
yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa
artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.”
(XV/212).
Disini saya merasa aneh
kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) seperti al-ayyubi malah
diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin
Al Ayubi lahir pada abad ke 5 H dan ada yang mengatakan abad ke 6 hijriyyah ( dan ini yang lebih tepat yaitu pada tahun 532 H ) dan
maulid sendiri berdiri pada abad ke 4 hijriyyah yaitu pada tahun 362 H, jadi duluan mana antara
solahudin lahir dan maulid, jika ada yang menjawab maulid duluan, maka ini
statement yang melecehkan akal sehat kita, bagaimana tidak, maulid sudah dirayakan sementara pendirinya
belum lahir…..??? perlu diketahui juga bahwa beliau adalah seorang raja dan
panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya yang
diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun
sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah
mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun
memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari
‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan
dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa,
perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab,
perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab,
perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan,
perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan
musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari
sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”
(Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490.
Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146 )
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul
Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan
maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain
–radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al
Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya
Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al
Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan
Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil
dari Al Maulid, hal. 20 )
Untuk mengetahui
selengkapnya mengenai Shalahuddin Al Ayubi apakah mendukung Maulid, silakan
baca di buku “Benarkah Shalahudin Al Ayubi mengerjakan Maulid Nabi?”,
yang ditulis oleh Al Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Maktabah Muawiyah
bin Abi Sofyan.
Soal: lalu siapa sebenarnya
ubaidiyyun/fatimiyyun itu…?
Jawab: mereka adalah Bani
‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada
abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek
moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang
pendiri aliran Bathiniyah di Irak. (Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
Al Qodhi Al Baqillaniy rahimahullah menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Al Qodhi Al Baqillaniy rahimahullah menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al
Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada
sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah
orang-orang yang dzholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari
melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang
menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan
ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani
Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan
Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah
Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada
Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada
Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga
mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak
bermaksiat) dan paling kufur.” ( majmu al-fatawa , 35/127 )
Bani Fatimiyyun atau
‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan)
sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang
menyatakan demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim juga
mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak
bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan
ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah,
sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36).
Begitu juga Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran
sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86).
Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf
(yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami
ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan
benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.” ( idem )
Begitu pula Ibnu Khallikan
mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab
[yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118 )
‘Abdullah At Tuwaijiriy
mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap
rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi (
penyembah matahari ). Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai
ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali
memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan
Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam
kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan
kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah
mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran
Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)
Bagaimana mungkin
Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas
‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛
فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ
وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ
“Sholahuddin-lah yang
menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran
Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah
yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.” ( Majmu’ Al Fatawa, 35/138 )
Dalam perkataan lainnya,
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ
فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ
وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ
“Negeri Mesir kemudian
ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin.
Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan
dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam semakin tersebar
luas.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/281. )
Dari penjelasan ini, sangat
mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor
perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh,
jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini
sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu
menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang
sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun
inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di
negeri ini. Hanya Allah yang memberi taufik.
Soal: kami merayakan maulid tidak tanpa
dalil, melainkan ada dalilnya yaitu puasanya nabi pada hari senin….?
Jawab : hadits yang anda rujuk adalah hadits
shahih, berikut ini haditsnya:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ
عَلَيَّ .( رواه مسلم)
"Dari Abi Qotadah
al-Anshori radhiyallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallampernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu
Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”
Saya akan bantah argument anda dengan 3
jawaban:
Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan
hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam mengambil dalil.
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa
pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar
pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran
beliau, masih terdapat perselisihan diantara para ulama dan pakar sejarah. Yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan
pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi
dengan berdasarkan dalil di atas, maka perayaan Maulid harusnya dirayakan
setiap pekan dan di hari senin bukan setiap tahun.
Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan
hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى
صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”
(HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 4897)
Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan pro
Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.
Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada
Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara
memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan. Namun
saya belum menemui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada, bentuk
syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan dari nabi, bahkan ada
pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.
Soal: kalau begitu, sebenarnya apa hukum merayakan maulid nabi
ditimbang dari ilmu fiqih…?
Jawab: di dalam ilmu fikih terdapat 5 hukum yakni, wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Dan perlu diketahui juga ada kaidah fikih yang sudah
mapan yang berbunyi: “ asal hukum ibadah
adalah haram kecuali ada dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan atau memakruhkan
atau membolehkan ( mubah ) “, mari kita timbang satu persatu dengan ilmiah:
Hukum yang pertama adalah wajib, apa definisi wajib, secara bahasa berarti harus dan secara
istilah jika dilaksanakan berpahala jika ditinggalkan berdosa: seandainya perkara
( maulid nabi ) itu wajib, tentu Allah akan menurunkan wahyu tentangnya dan
Rasulullah akan mengajarkannya baik sifat dan caranya kepada kita sebagaimana
diwajibkannya shalat, namun kita sepakat bahwa tidak ada dalil yang sah tentang
maulid baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Maka hukum wajib tidak masuk.
Hukum yang kedua adalah sunnah, apa definisi sunnah, secara bahasa berarti di anjurkan dan
menurut istilah dilaksanakan berpahala ditinggalkan tidak berdosa, dari
definisi ini kita dapat simpulkan bahwa tidak mungkin maulid hukumnya sunnah,
karena tidak ada satupun sahabat nabi yang melaksanakannya, sementara mereka
lebih mencintai rasulullah dan lebih giat dalam urusan pahala dibanding kita,
apakah kita berani mengklaim bahwa ada amalan sunnah yang ditinggalkan oleh
umat terbaik, yang mana derajat mereka 1 tingkat di bawah para nabi dan Rasul.
maka hukum inipun tidak masuk.
Hukum yang ketiga adalah mubah, secara bahasa artinya boleh dan definisinya dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan, keduanya tidak mendapat apa-apa. Jika kita pakai hukum yang ini tentu akan
bertabrakan dengan akal sehat kita, bagaimana tidak, merayakannya tidak
berpahala dan meninggalkannya pun tidak berdosa, jadi perbuatan itu menjadi
sia-sia, pahala tidak dapat, dosapun tidak dapat, bahkan hanya akan
membuang-buang energy kita, waktu kita, harta kita dan pikiran kita saja,
bahkan tidur lebih baik dari itu, maka hukum inipun tidak masuk. Dan sekarang
tinggal ada 2 hukum yakni makruh dan haram, tinggal pilih saja.
Sekarang makruh,
secara bahasa artinya dibenci, definisinya adalah dilaksanakan tidak mendapat
apa-apa, ditinggalkan mendapat pahala, sikap seorang muslim pasti memilih yang
ada pahalanya, hanya orang yang bodoh dan sombong saja yang tidak mau pahala
dari Allah, kita hanya meninggalkan maulid dapat pahala, tidak perlu biaya,
tenaga dan pikiran.
Nah… sekarang tinggal sisa satu hukum
lagi yaitu haram, jika ke empat
hukum di atas tidak memenuhi kriteria, maka hukum inilah yang kita pakai,
karena jika tidak, mau pakai hukum apa lagi, di fikih hanya ada 5 hukum. Jadi
jelaslah bagi kita bahwa perayaan maulid itu hukumnya haram, dan bukan hanya
maulid nabi saja, tapi amalan-amalan bid’ah lainnya seperti tahlilan, tradisi
yasinan, dll. Wallahu a’lam