بسم الله الرحمن الرحيم
Istilah “jilbab gaul”, “jilbab modis” atau
“jilbab keren”…tentu tidak asing di telinga kita, karena nama-nama ini sangat
populer dan ngetrend di kalangan para wanita muslimah. Bahkan kebanyakan dari
mereka merasa bangga dengan mengenakan jilbab model ini dan beranggapan ini
lebih sesuai dengan situasi dan kondisi di jaman sekarang. Ironisnya lagi, sebagian
dari mereka justru menganggap jilbab yang sesuai dengan syariat adalah kuno, kaku
dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Padahal, bukankah Allah U yang mensyariatkan
hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan
kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan Dialah yang mensyariatkan bagi mereka hukum-hukum
agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap jaman dan tempat?
Allah I berfirman:
{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ}
“Bukankah Allah yang menciptakan
(alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha
Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Dan bukankah Allah Y maha sempurna pengetahuan-Nya
sehingga tidak ada satu kebaikanpun yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin
ada satu keutamaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya?
Maha
suci Allah U yang berfirman:
{لا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى}
“Rabb-ku (Allah I) tidak akan salah dan tidak (pula)
lupa” (QS Thaahaa: 52).
Dalam ayat lain, Dia Y berfirman:
{وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا}
“Dan Rabb-mu (Allah U) tidak mungkin lupa” (QS Maryam: 64).
Dan maha benar Allah U yang berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya Allah memerintahkan
(kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS
an-Nahl:90).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa
semua perkara yang dilarang oleh Allah I dalam Islam pasti membawa kepada keburukan dan kerusakan,
sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti membawa kepada kebaikan
dan kemaslahatan[1].
Semoga Allah U merahmati imam ‘Izzuddin ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdis Salam yang memaparkan keindahan agama Islam ini dalam ucapan
beliau: “…Maka Allah U memerintahkan kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya r dengan segala kebaikan dan
kemaslahatan, serta melarang mereka dari segala dosa dan permusuhan…
Demikian pula Dia Y memerintahkan kepada mereka untuk
meraih segala kebaikan (dengan) memenuhi (perintah) dan mentaati-Nya, serta
menjauhi segala keburukan (dengan) berbuat maksiat dan mendurhakai-Nya, sebagai
kebaikan dan anugerah (dari-Nya) kepada mereka, karena Dia maha kaya (dan tidak
butuh) kepada ketaatan dan ibadah mereka..
Maka Dia I menyampaikan kepada mereka (dalam Islam) hal-hal yang
membawa segala kebaikan dan petunjuk bagi mereka agar mereka mengerjakannya,
serta hal-hal yang membawa segala keburukan dan kesesatan bagi mereka agar
mereka menjauhinya.
Dan Dia U menyampaikan kepada mereka bahwa Syaithan adalah musuh
bagi mereka agar mereka memusuhi dan tidak menurutinya. Maka Dia Y menjadikan segala kebaikan di
dunia dan akhirat hanya dicapai dengan mentaati perintah(-Nya) dan menjauhi
perbuatan maksiat (kepada)-Nya”[2].
Antara jilbab syar’i dan jilbab gaul
Berdasarkan keterangan di atas, maka
setiap muslim yang beriman kepada Allah U dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan
yang Allah Y tetapkan
dalam Islam tentang pakaian dan perhiasan bagi wanita muslimah adalah untuk kemaslahatan/kebaikan
serta penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan mereka.
Lihatlah misalnya pensyariatan jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna[3])
bagi wanita ketika berada di luar rumah dan hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan
laki-laki yang bukan mahramnya. Keduanya bertujuan sangat mulia,
yaitu untuk kebaikan dan menjaga kesucian bagi kaum perempuan.
Allah Y berfirman:
{يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
“Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri
orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 59).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan kewajiban
memakai jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti”.
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: “Ini
menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk)
akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan
syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi
orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang 'afifah (terjaga
kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan
mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan
merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan
syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri
wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[4].
Dalam ayat lain, Allah I berfirman:
{وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ}
“Dan apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS
al-Ahzaab:53).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh
berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi
hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia
kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi
hijab/tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam
kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya
fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah
(timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit
(dalam) hatinya”[5].
Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua perbuatan
yang menyelisihi ketentuan Allah U ini akan menimbulkan berbagai kerusakan dan keburukan
bagi kaum perempuan bahkan kaum muslimin secara keseluruhan.
Oleh karena itulah, Allah U melarang keras perbuatan
tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan ketika berada di luar
rumah[6])
bagi kaum perempuan dan menyerupakannya dengan perbuatan wanita di jaman Jahiliyah.
Allah I berfirman:
{وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}
“Dan hendaklah kalian (wahai
istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan)
wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).
Arti tabarruj dan penjabarannya
Secara bahasa tabarruj berarti menampakkan
perhiasan bagi orang-orang asing (yang bukan mahram)[7].
Imam asy-Syaukani berkata: “at-Tabarruj
adalah dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan
kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang ini dapat
memancing syahwat (hasrat) laki-laki”[8].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Arti ayat ini: Janganlah kalian
(wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian,
sebagaimana kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki
pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi
kaum wanita) dan sebab-sebabnya”[9].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Ketika Allah
I memerintahkan
kaum perempuan untuk menetap di rumah-rumah mereka maka Allah I melarang mereka
dari (perbuatan) tabarruj wanita-wanita Jahiliyah, (yaitu) dengan sering
keluar rumah atau keluar rumah dengan berhias, memakai wewangian, menampakkan
wajah serta memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka yang Allah
perintahkan untuk disembunyikan.
Tabarruj (secara bahasa) diambil
dari (kata) al-burj (bintang, sesuatu yang terang dan tampak), di antara
(makna)nya adalah berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan,
seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan anggota tubuh lainnya,
atau menampakkan perhiasan tambahan.
Hal
ini dikarenakan seringnya (para wanita) keluar rumah atau keluar dengan menampakkan
(perhiasan dan kecantikan mereka) akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang
besar (bagi diri mereka dan masyarakat)”[10].
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan
bahwa penjabaran makna tabarruj meliputi dua hal, yaitu:
1- Seringnya seorang wanita
keluar rumah, karena ini merupakan sebab terjadinya fitnah dan kerusakan.
Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka
jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar
menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya
(Allah I) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[11].
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat
di atas, beliau berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan)
untuk menetapi rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada
istri-istri Nabi Muhammad r, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain
mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang
khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh
dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak
keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”[12].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah
U memerintahkan
bagi seorang wanita untuk menetap di rumahnya dan tidak keluar rumah kecuali untuk
kebutuhan yang mubah (diperbolehkan dalm Islam) dengan menetapi adab-adab yang
disyariatkan (dalam Islam). Sungguh Allah telah menamakan (perbuatan)
menetapnya seorang wanita di rumahnya dengan “qaraar” (tetap, stabil,
tenang), ini mengandung arti yang sangat tinggi dan mulia. Karena dengan ini
jiwanya akan tenang, hatinya akan damai dan dadanya akan lapang. Maka dengan
keluar rumah akan menyebabkan keguncangan jiwanya, kegalauan hatinya dan
kesempitan dadanya, serta membawanya kepada keadaan yang akan berakibat
keburukan baginya”[13].
Di tempat lain, beliau berkata: “Allah I memerintahkan para
wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah
sering menjadi sebab (timbulnya) fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat
menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai
syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan,
akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik
bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”[14].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
berkata: “(Hukum) asalnya seorang wanita tidak boleh keluar dari rumahnya
kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhari (no. 4517) ketika
turun firman Allah I:
{وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}
“Dan hendaklah kalian (wahai
istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan)
wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).
Rasulullah
r bersabda: “Sungguh
Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada)
keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)”[15].
Bahkan menetapnya wanita di rumah
merupakan ‘aziimatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat
Islam), sehingga kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan)
yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Oleh
karena itulah, Allah U dalam tiga ayat al-Qur’an[16]
menisbatkan/menggandengkan rumah-rumah kepada para wanita, padahal jelas
rumah-rumah yang mereka tempati adalah milik para suami atau wali mereka, ini
semua menunjukkan bahwa selalu menetap dan berada di rumah adalah keadaan yang
sesuai dan pantas bagi mereka[17].
2- Keluar rumah dengan
menampakkan kecantikan dan perhiasan yang seharusnya disembunyikan di hadapan
laki-laki yang bukan mahramnya..
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah
U memerintahkan
kaum perempuan untuk menetapi rumah-rumah mereka dan melarang mereka dari
perbuatan tabarruj (ala) jahiliyyah, yaitu menampakkan perhiasan dan
kecantikan, seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan
(keindahan wanita) lainnya, karena ini akan (menimbulkan) fitnah dan kerusakan
yang besar, serta mengundang diri kaum lelaki untuk melakukan sebab-sebab (yang
membawa kepada) perbuatan zina…”[18].
Allah I memerintahkan
kaum wanita untuk menyembunyikan perhiasan dan kecantikan mereka dalam
firman-Nya:
{وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ
ما يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ}
“Dan janganlah mereka (para
wanita) memukulkan kaki mereka agar orang mengetahui perhiasan yang mereka
sembunyikan”. (QS an-Nuur: 31).
Perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan
dalam ayat ini mencakup semua jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan
mereka maupun perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan adalah segala sesuatu yang disukai
oleh laki-laki dari seorang wanita dan mengundangnya untuk melihat kepadanya, baik
itu perhiasan/keindahan asal (anggota badan mereka) ataupun perhiasan yang bisa
diusahakan (perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka), yaitu semua yang ditambahkan
pada fisik wanita untuk mempercantik dan menghiasi dirinya”[19].
Ancaman keras dan keburukan tabarruj
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash t, bahwa Rasulullah r bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita
yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti
punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan
dari rahmat Allah U)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak
dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak
sekian dan sekian”[20].
Dalam hadits ini terdapat ancaman keras yang menunjukkan bahwa perbuatan
tabarruj termasuk dosa besar, karena dosa besar adalah semua dosa yang
diancam oleh Allah dengan Neraka, kemurkaan-Nya, laknat-Nya, azab-Nya, atau
terhalang masuk Surga. Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin bersepakat menyatakan
haramnya tabarruj, sebagaimana penjelasan imam ash-Shan’ani[21].
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi memasukkan perbuatan tabarruj ke
dalam dosa-dosa besar berdasarkan hadits di atas, dalam kitab beliau “al-Mu’lim
syarhu shahiihi Muslim” (1/243).
Ancaman dan keburukan tabarruj
lainnya yang disebutkan dalam dalil-dalil yang shahih adalah sebagai berikut[22]:
1- Tabarruj adalah sunnah
Jahiliyah, sebagaimana dalam firman Allah:
{وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}
“Dan hendaklah kalian (wahai
istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj
(sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan)
wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).
2- Tabarruj digandengakan
dengan syirik, zina, mencuri dan dosa-dosa besar lainnya, sehingga Rasulullah r menjadikan salah
satu syarat untuk membai’at para wanita muslimah dengan meninggalkan tabarruj.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash t, beliau
berkata: Umaimah bintu Ruqaiqah datang menemui Rasulullah r untuk membai’at
beliau r atas agama Islam. Maka Rasulullah r bersabda: “Aku
membai’at kamu atas (dasar) kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak
mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berbuat dusta yang kamu
ada-adakan antara kedua tangan dan kakimu, tidak meratapi mayat, dan tidak
melakukan tabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah
laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu”[23].
3- Ancaman keras dengan
kebinasan bagi wanita yang melakukan tabarruj. Rasulullah r bersabda: “Ada
tiga golongan manusia yang jangan kamu tanyakan tentang mereka (karena mereka
akan ditimpa kebinasaan besar): orang yang meninggalkan jamaah (kaum muslimin)
dan memberontak kepada imamnya (penguasa/pemerintah) lalu dia mati dalam
keadaan itu, budak wanita atau laki-laki yang lari (dari majikannya) lalu dia
mati (dalam keadaan itu), dan seorang wanita yang (ketika) suaminya tidak
berada di rumah (dalam keadaan) telah dicukupkan keperluan dunianya (hidupnya),
lalu dia melakukan tabarruj setelah itu, maka jangan tanyakan tentang
mereka ini”[24].
4- Imam adz-Dzahabi menjadikan perbuatan tabarruj
yang dilakukan oleh banyak wanita termasuk sebab yang menjadikan mayoritas
mereka termasuk penghuni Neraka[25], na’uudzu
billahi min dzaalik. Ucapan beliau akan kami nukil secara lengkap dalam
makalah ini, insya Allah U.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh[26]
menjelaskan secara khusus keburukan-keburukan perbuatan tabarruj berdasarkan
dalil-dali dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah r, di antaranya sebagai
berikut:
- Tabarruj
adalah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya r, sebagaimana dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
- Tabarruj
akan membawa laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah r: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti
punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan
dari rahmat Allah U)”[27].
- Tabarruj termasuk sifat wanita
penghuni Nereka, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Ada dua golongan termasuk
penghuni Neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang
cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul/menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita
yang berpakaian (tapi) telanjang…”[28].
- Tabarruj adalah kesuraman dan
kegelapan pada hari kiamat. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh di sini
berdalil dengan sebuah hadits yang lemah tapi maknanya benar.
- Tabarruj
adalah perbuatan fahisyah (keji). Karena wanita adalah aurat, maka
menampakkan aurat termasuk perbuatan keji dan dimurkai oleh Allah, Syaithanlah
yang menyuruh manusia melakukan perbuatan keji. Allah U berfirman:
{إِنَّمَا
يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“Sesungguhnya
syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
- Tabarruj adalah sunnah dari
Iblis. Karena dia berusaha keras untuk membuka aurat dan menyingkap hijab
mereka, maka tabarruj merupakan target utama (tipu daya) Iblis. Allah Y berfirman:
{يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ
مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا}
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Syaitan
sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam u dan Hawa) dari
Surga, dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya” (QS al-A’raaf: 27).
- Tabarruj adalah metode
penyesatan orang-orang Yahudi. Karena mereka mempunyai peranan besar dalam
upaya merusak kehidupan manusia melalui cara memperlihatkan fitnah dan
kecantikan wanita, dan mereka sangat berpengalaman dalam bidang ini. Rasulullah
r bersabda: “Takutlah
kalian kepada (fitnah) dunia, dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena
sesungguhnya fitnah pertama yang melanda Bani Israil adalah tentang wanita”[29].
Bentuk-bentuk tabarruj[30]
1. Termasuk tabarruj:
mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita,
seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala[31].
Ini bertentangan dengan makna firman Allah U:
{يُدْنِيْنَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ}
“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
mereka” (QS al-Ahzaab: 59).
Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak
bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai
syariat Islam.
2. Termasuk tabarruj: mengenakan
jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian
atas dan yang lain untuk bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan
para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi
seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk
bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab
yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah
adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang
bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:
{وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ...}
“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan
perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…”
(QS an-Nuur: 31).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan diperintahkannya (memakai)
jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal
jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini,
sebagaimana yang anda lihat, sangat jelas dan tidak samar”[32].
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab
gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman
ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna
yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang
dikenakannya sebagai perhiasan baginya.
Insya Allah, pembahasan tentang ini akan
penulis ulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.
4. Termasuk tabarruj:
mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis maka
itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan
menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah r bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang
berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti
punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan
dari rahmat Allah U)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak
dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak
sekian dan sekian”[33].
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah r (dalam
hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang
transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian
tapi sejatinya mereka telanjang”[34].
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam
“al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul Kubra” (8/72),
dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat Hafshah bintu ‘Abdur Rahman
bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah t dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan
dahinya, maka ‘Aisyah t merobek kerudung tersebut dan berkata: “Apakan kamu tidak
mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian
‘Aisyah t meminta kerudung lain dan memakaikannya”.
5. Termasuk tabarruj: mengenakan
jilbab/pakaian yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti
jilbab/pakaian yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman
sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari memakai
jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat terwujud dengan (memakai)
jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab/pakaian yang ketat, meskipun
menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada
pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan
pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian
yang longgar”[35].
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan kain
yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana
hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita di jaman
ini[36].
Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat
pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya: hendaknya
pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian
dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di
tubuh)[37].
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid r, beliau berkata: “Rasulullah r memakaikan
untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu
adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah r. Kemudian
pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasulullah r bertanya
kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku
berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah r bersabda:
“Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah
tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur
tulangnya (tubuhnya)”[38].
Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian qibthiyah
tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun demikian Rasulullah
r
memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain
dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi
jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti
lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ketika
al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan sebuah
pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar y, pada waktu
itu Asma’ t dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ t meraba
pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan
pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata
kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka Asma’ t berkata:
“Meskipun pakaian ini tidak tipis tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya”[39].
6. Termasuk tabarruj: wanita yang
keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari t bahwa Rasulullah r betrsabda: “Seorang
wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian,
lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu
adalah seorang pezina”[40].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya[41],
Rasulullah r menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita
yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka
tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke
pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, imam al-Haitami
menegaskan bahwa keluar rumahnya seorang wanita dengan memakai wangi-wangian
dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya[42].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah r melarang
perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan
hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki
kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya
yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena
itu, Rasulullah r memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah
(untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri
(di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang
diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan
tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu
dalam shalat). Semua ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya
kerusakan (fitnah)”[43].
7. Termasuk tabarruj: wanita yang
memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah t beliau berkata: “Rasulullah r melaknat
laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan
pakaian laki-laki”[44].
Dari Abdullah bin ‘Abbas t beliau berkata: “Rasulullah r melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”[45].
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang
menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal
lainnya[46].
Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian
yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah t pernah
ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka
beliau menk\jawab: “Rasulullah r melaknat wanita yang menyerupai laki-laki”[47].
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan
budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau berkata:
“Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia
menyerupakannya dengan laki-laki”[48].
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang
memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model
laki-laki[49].
Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki
dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka berada,di dalam rumah
maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena
menampakkan aurat[50].
8. Termasuk tabarruj: wanita yang
memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan
pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer[51].
Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di
dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat
(nanti), kemudian dinyalakan padanya api Neraka”[52].
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena
sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin
tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka
memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan
indah penampilan mereka.
Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan
biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model
pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita
lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi
‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tau model
pakaian jaman sekarang.
Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai
pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya
disembunyikan.
Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah,
karena ini diharamkan pada zatnya[53].
Tabarruj dalam
berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan
disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan dan
kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki
yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah memakai pakaian
atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang
sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena pakaian/jilbab
ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang longgar
dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik
perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah penampilan wanita
yang mengenakannya maka ini jelas termasuk tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa tujuannya?,
maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan, supaya keren, dan
kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan, sedangkan
syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi dan tidak
memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain mahram atau
suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir juga
disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata[54]: “Termasuk
perbuatan (buruk) yang menjadikn wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah U) yaitu memperlihatkan
perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya,
memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai
pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian
pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan
lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini
termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai
oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan
oleh para wanita, sehingga Rasululah r bersabda tentang mereka: “Aku melihat Neraka, maka aku melihat
kebanyakan penghuninya adalah para wanita”[55].
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan
tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk sebab yang
menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka[56], na’uudzu
billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada
sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk
ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang terbiasa
hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan mereka jadikan
sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain penutup tenunan dari (kain)
sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan
perak yang menyilaukan mata. Aku memandang bahwa para suami dan wali yang
membiarkan istri-istri mereka keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga
mereka berjalan di kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan
perhiasan tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan
(dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah
tersebar merata”[57].
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab
Saudi, yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan:
syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin Gudayyan.
Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai berikut: “’Abayah
(baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang
terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu
menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita)
dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya
sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah
tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah
tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan
(bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol”[58].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin
pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah
(pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi)
bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada
juga sebagian ‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis,
bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita
mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal) dalam pakaian,
makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan) mu’amalah
adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika
ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami,
dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah r. Allah I berfirman:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ
جَمِيعاً}
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (QS al-Baqarah:
29).
Dan Firman-Nya:
{قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ
مِنَ الرِّزْقِ}
“Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” (QS al-A’raaf: 32).
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan
oleh Allah dalam perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya,
seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam hal yang
dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada
sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan
kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘abayah (model) baru
ini, maka kami katakan: bahwa (hukum) asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan,
akan tetapi jika pakaian tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena
terdapat hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya),
maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian
itu menimbulkan fitnah”[59].
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai
‘abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan)
perhiasan dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah I:
{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ
اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ
ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ}
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas mereka
untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan” (QS an-Nuur: 60).
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku
untuk perempuan-perempuan tua maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih
muda”[60].
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas
merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang dibuat
dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas
dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata”[61].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan keterangan
di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita
adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas, dompet,
sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan tersebut memiliki
bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk
perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar kebiasaan
(kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan)
wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allah I berfirman:
{وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}
“Dan janganlah kalian (para
wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah
laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS
al-Ahzaab:33).
Maka
segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj, nampaknya
(perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lainnya dalam
hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita”[62].
Warna pakaian wanita termasuk perhiasan
?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk perhiasan
sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih atau
hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang
(dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan:
- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman
para shahabat y…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan
di antara mereka istri-istri Rasulullah r…”[64].
Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas,
kalau kita gabungkan dengan ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di
antaranya telah kami nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian
wanita tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat
warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian bagi
laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani sendiri menyampaikan
keterangan beliau di atas pada pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang
sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua: pakaian tersebut bukan
merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya) pada zatnya[65].
Maka pakaian wanita boleh memakai warna
selain hitam, misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya
yang tidak terang dan menyolok.
Meskipun demikian, sebagian dari para
ulama menegaskan bahwa warna hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena
lebih menutupi perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid
Salim berkata: “Sungguh pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih
utama bagi wanita dan lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri
Rasulullah r, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah t ketika
Shafwan t melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut
disebutkan: “…maka Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang
sedang tidur (‘Aisyah t)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah t lainnya,
beliau menyebutkan bahwa para wanita Anshar y keluar
rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak[66].
Syubhat (kerancuan/pengkaburan)
seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada
beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang
membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada
pakaian wanita, di antaranya:
1- Syubhat pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid t yang terdapat dalam shahih imam al-Bukhari[67], bahwa
Rasulullah r dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam
yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah r memakaikan
baju tersebut kepada Ummu Khalid t dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah
(bagus)”.
Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat
al-Qur’an dan hadits Rasulullah r harus dikembalikan kepada para ulama salaf dan para
imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani[68]
maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil
dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika
keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid t yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil,
bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid t sendiri
berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam
riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil
berwarna hitam.
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa
wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda
dengan wanita yang telah dewasa.
2- Syubhat kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih
al-Bukhari[69] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya
‘Aisyah t di ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah t, istri Nabi r) berada di
dalam sebuah tenda kecil (tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah)
yang memiliki penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau t kecuali penutup
itu. Dan aku melihat ‘Aisyah t memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian dari mereka yang berdalil dengan
kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku
melihat ‘Aisyah t memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk
memahaminya dengan benar harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang
menerangkan makna hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani[70]
menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna
mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa
‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah t memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ masih
kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur Razzak
ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”. Beliau juga
menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah
bahwa kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi
orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena
alasan-alasan berikut:
- ‘Aisyah
t memakai pakaian
tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar
rumah.
- Pakaian
yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar, kalaupun dikatakan
bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan
di luar rumah.
- ‘Atha’
melihat ‘Aisyah t memakai pakaian tersebut dalam keadaan ‘Atha’ masih
kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan.
- Ada kemungkinan ‘Atha’
melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas.
3- Syubhat ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan
hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita
bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap dan
polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para
ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan)
masyarakat.
Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan
‘urf (kebiasan) masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak
dijelaskan dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting diperhitungkannya
‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi
dalil-dalil shahih dalam syariat[71].
Maka syubhat di atas terbantah dengan
sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas
dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan
lain-lain.
Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima
tanpa syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram
dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa
dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang
banyak tersebar di masyarakat.
Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab
sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih
banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata.
Nasehat dan penutup
Seorang wanita muslimah yang telah
mendapatkan anugerah hidayah dari Allah I untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia
merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah
dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, dan
semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang
dikumpulkan oleh manusia.
Allah I berfirman:
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ
فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Katakanlah: "Dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman)
bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari
apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yuunus:58).
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan
oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat
Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur'an”[72].
Dalam ayat lain Allah Y berfirman:
{وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ}
“Dan kemuliaan (yang sebenarnya)
itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman,
akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” (QS al-Munaafiqun:8).
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin
Khattab t berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina,
kemudian Allah I memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah I akan menjadikan
kita hina dan rendah”[73].
Semoga Allah I menjadikan
tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk
kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk
Allah Y dan Rasul-Nya r dalam agama Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن
الحمد لله رب العالمين
Kota
Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[2] Kitab “Qawa-‘idul ahkaam” (hal. 2).
[6] Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang
bukan mahram wanita tersebut.
[7] Lihat kitab “an-Nihaayatu fi gariibil hadiitsi wal
atsar” (1/289) dan “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 231).
[8] Kitab “Fathul Qadiir” (4/395).
[11] HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599)
dan at-Thabrani dalam “al-Mu'jamul
ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam "Silsilatul ahaaditsish
shahiihah" (no. 2688).
[12] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174).
[13] Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 22).
[14] Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (4/308).
[15] Al-Fataawa al-imaaraatiyyah.
[16] Yaitu QS al-Ahzaab: 33, 34 dan ath-Thalaaq:1.
[17] Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 87).
[18] Kitab “at-Tabarruju wa khatharuhu” (hal. 6-7).
[19] Kitab “Majmuu’ul fataawa syaikh Bin Baz” (5/227).
[20] Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam
“al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125), dan hadits
kedua riwayat imam Muslim (no. 2128).
[21] Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 107-108).
[22] Lihat kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 4-6)
dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 79-80).
[23] HR Ahmad (2/196) dan dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121).
[24] HR Ahmad (6/19) dan al-Hakim (1/206), dinyatakan
shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 119).
[25] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[26] Dalam kitab beliau “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal.
4-6).
[27] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal.
232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 125).
[28] HSR Muslim (no. 2128).
[29] HSR Muslim (no. 2742).
[30] Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul
‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin
Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[31] Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[32] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[33] Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam
“al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh
al-Albani, dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no.
[34] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[35] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[36] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal.
132-133). Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan
jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[37] Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[38] HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 131).
[39] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra”
(8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil
muslimah” (hal. 127).
[40] HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban
(no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban,
al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[41] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no.
1031).
[42] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 139).
[43] Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[44] HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad
(2/325), al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul
mar-atil muslimah” (hal. 141).
[45] HSR al-Bukhari (no. 5546).
[46] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal.
146-147).
[47] HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh
syaikh al-Albani.
[48] Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud
(hal. 261).
[49] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150),
“Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab
fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[50] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul
kaba-ir” (hal. 212).
[51] Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[52] HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan
Ahmad (2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[53] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38).
[54] Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[55] HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[56] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab
“Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[57] Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[58] Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[59] Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[60] Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[61] Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[62] Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal.
10).
[63] HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan shahih
oleh syaikh al-Albani.
[64] Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123).
[65] Ibid (hal. 119).
[66] Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770)
dan (no. 2128).
[67] No. 3661 dan no. 5485.
[68] Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[69] No. 1539.
[70] Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[71] Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca
artikel “Pedoman Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA
yang dimuat di majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[72] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab
“Miftahu daaris sa’aadah” (1/227).
[73] Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130),
dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.