Masalah ke 11 ( hukum niyahah )
An-Niyahah adalah suara
melolong atau tangisan dengan menyebut-nyebut orang yang sudah meninggal dan
kebaikan-kebaikannya. Ada pula yang berpendapat bahwa maknanya ialah ratap
tangis yang menjerit-jerit dengan menyebut-nyebut kebaikan orang yang
meninggal. Kesimpulannya, niyahah adalah meratapi orang yang meninggal dengan
tangisan yang berlebihan bahkan sampai pingsan.
Perbuatan ini termasuk perbuatan wanita-wanita jahiliyah. Apabila ada wanita muslimah yang melakukannya, berarti dia membuka dirinya untuk adzab Allah dan kemarahanNya. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para wanita, beliau mensyaratkan kepada mereka agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan ini, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at kami, lalu membacakan kepada kami ayat : “Dan janganlah mereka menyekutukan sesuatu pun dengan Allah”, dan melarang kami dari niyahah. (Hadits shahih ditakhrij Al-Bukhary 6/187, Muslim 6/238, Abu Daud hadits nomor 3127 )
Perbuatan ini termasuk perbuatan wanita-wanita jahiliyah. Apabila ada wanita muslimah yang melakukannya, berarti dia membuka dirinya untuk adzab Allah dan kemarahanNya. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para wanita, beliau mensyaratkan kepada mereka agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan ini, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at kami, lalu membacakan kepada kami ayat : “Dan janganlah mereka menyekutukan sesuatu pun dengan Allah”, dan melarang kami dari niyahah. (Hadits shahih ditakhrij Al-Bukhary 6/187, Muslim 6/238, Abu Daud hadits nomor 3127 )
Dalam riwyat Abu Malik
Al-Asy’ary Radahiyallahu ‘anhu Rasulullah dengan tegas mengatakan:
Apabila wanita yang meratap tangis tidak
bertaubat sebelum dia meninggal, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat,
dan ditubuhnya dikenakah jubah yang penuh ‘ter ( cairan timah panas ) dan perisai
yang dipenuhi penyakit kudis” (Hadits
shahih, ditakhrij Muslim 6/235, Ahmad 5/334, dari hadits Abu Malik, Ibnu Majah,
hadits nomor 1582 dari hadits Ibnu Abbas.)
Sirbal artinya baju, gamis
atau jubah, Qathiran maksudnya cairan hitam dari timah panas yang
berbau busuk, yang cepat muncul karena panas yang teramat sangat dari daging
atau tulang yang terbakar. Jarab artinya penyakit yang biasa menjangkiti kulit
dan bisa meninggalkan noda-noda hitam. Ini merupakan gambaran siksa yang pedih
dan adzab yang keras. Laki-laki yang kuat sekalipun tidak akan kuat
menanggungnya. Lalu bagaimana menurut pendapatmu jika terjadi pada wanita yang
lemah ?
Selanjutnya simaklah hadits
berikut yang diriwayatkan Abu Burdah, dari bapaknya Abu Musa Al-Asy’ary, dia
berkata.
“Abu Musa sedang sakit keras, hingga pingsan. Saat itu dia berada di bilik seorang wanita dari keluarganya. Lalu ada salah seorang wanita dari keluarganya yang berteriak-teriak. Namun Abu Musa tidak mampu mencegahnya sedikit pun. Tatkala semakin menjadi-jadi, maka dia berkata, ‘Aku berlepas diri dari apa yang Rasulullah berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang berteriak-teriak, yang mencukur rambut dan merobek-robek pakaian (karena kematian seseorang). (Hadits shahih ditakhrij Al-Bukhary 2/103, Muslim 2/110 ).
“Abu Musa sedang sakit keras, hingga pingsan. Saat itu dia berada di bilik seorang wanita dari keluarganya. Lalu ada salah seorang wanita dari keluarganya yang berteriak-teriak. Namun Abu Musa tidak mampu mencegahnya sedikit pun. Tatkala semakin menjadi-jadi, maka dia berkata, ‘Aku berlepas diri dari apa yang Rasulullah berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang berteriak-teriak, yang mencukur rambut dan merobek-robek pakaian (karena kematian seseorang). (Hadits shahih ditakhrij Al-Bukhary 2/103, Muslim 2/110 ).
Itulah hukuman bagi orang (
wanita khususnya ) yang meratapi mayyit keluarganya atau kerabatnya atau
siapapun. Wallahu a’lam.
Masalah ke 12 ( JIKA WANITA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER
LELAKI )
Islam mensyariatkan, jika
seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya.
Al-Qur`ân dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan
dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk
ditekankan dalam syariat Islam.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa sub judul, dengan bercermin pada fatwa-fatwa ulama kontemporer. Silahkan menyimak.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa sub judul, dengan bercermin pada fatwa-fatwa ulama kontemporer. Silahkan menyimak.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di atas. Yakni untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejian.
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di atas. Yakni untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejian.
Dalam hadits di bawah ini,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kaum lelaki untuk
lebih berhati-hati dalam masalah wanita.
"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari Anshar bertanya,"Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,"Saudara ipar adalah maut (petaka).” [HR Bukhari dan Muslim].
"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari Anshar bertanya,"Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,"Saudara ipar adalah maut (petaka).” [HR Bukhari dan Muslim].
Rasulullah mengatakan ipar
itu adalah kematian ( petaka ), kenapa..? karena ipar itu bukanlah mahrom kita,
ipar saja digambarkan sebagai petaka, bagaimana dengan yang lainnya.
IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE
DOKTER WANITA
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan. Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan: “Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang”. (Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230. )
Lajnah Dâ-imah yang dipimpin
oleh syekh bin baz juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter
wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau
berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan, maka ia boleh
melakukannya. (Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatâwa
al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.)
Bagaimana tidak? Karena
seorang muslimah harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa
malu yang telah menjadi fitrah wanita, menghindarkan diri dari tangan pria yang
bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath
BAGAIMANA BILA TIDAK ADA
DOKTER WANITA?
Syaikh Bin Bâz rahimahullah
memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk diketahui dan
sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus
bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan
tidak menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter
wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak
membutuhkan bantuan dokter lelaki.
Bila memang dalam keadaan
darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang
mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk
pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang
keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia
boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah
yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.
Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'âm/6 ayat 119:
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".
Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'âm/6 ayat 119:
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".
Meskipun dibolehkan dalam
kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib
untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan,
tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus
bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek
atau ruang periksa.
KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.
Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.
Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang menyertai dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.
Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.
Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang menyertai dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika komentar berbau sara dan provokasi, kami akan menghapusnya