Sebelum
menjelaskan hukum merayakan tahun baru nashrani / masehi yang sebentar lagi
akan berlangsung, saya akan menjelaskan terlebih dahulu hukum merayakan tahun
baru islam / hijriyyah.
Telah
tersebar luas fenomena perayaan tahun bari hijriyyah atau tahun baru islam yang
jatuh pada tanggal 1 muharram, fenomena ini terjadi bukan tanpa maksud akan
tetapi ada maksud tertentu yang berhubungan dengan syari’at bagi mereka yang
merayakannya. Pembahasan kali ini akan mengupas tuntas, dibenarkan oleh
syari’at kah perayaan tersebut? Ada yang
berdalih ini adat kebanyakan manusia, ada juga yang mengatakan orang nashrani
saja merayakan tahun baru mereka ( masehi ) maka kitapun tidak boleh kalah, bahkan
yang sangat menyedihkan ada yang mengatakan ini bid’ah hasanah dan tidak
sedikit yang mengatakannya adalah para da’I yang jahil yang tidak mengerti
seluruhnya sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Point
yang pertama adalah sejak kapan perayaan ini di galakkan.. dan siapa pencetusnya…?
Ini dia jawabannya.
Para
ahli sejarah telah berijma bahwa Perayaan ini termasuk perayaan yang
dimunculkan oleh khilafah Al-Fathimiyyun pada abad ke-4 hijriah atau tepatnya
tahun 362 H. nah loh…. Jadi sebelum itu tidak ada perayaan tahun baru islam.
Taqiyyuddin Al-Maqrizi -rahimahullah- berkata dalam Al-Mawa’izh wal I’tibar bi
Dzikril Khuthoth wal Atsar (1/490) di bawah judul ‘Penyebutan Hari-Hari yang
Dijadikan Sebagai Hari Raya oleh Khilafah Al-Fathimiyyun…’, “Khilafah
Al-Fathimiyyun sepanjang tahun memiliki beberapa hari raya dan hari peringatan,
yaitu: Perayaan akhir tahun, perayaan awal tahun (tahun baru), hari Asyura`,
perayaan maulid (hari lahir) Nabi -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-,
maulid Ali, maulid Al-Hasan, maulid Al-Husain, maulid Fathimah , perayaan
maulid (ulang tahun) khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan
bulan Rajab, malam pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban, …”.
Siapa fathimiyyun itu, dan apa keyakinannya..?
Mereka
adalah bani ubaidiyyun al-qaddah yang menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin
Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan.
Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah
seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak. (Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm.
137). Sekilas info tentang pemahaman aliran bathiniyyah:
1. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi
Tholib adalah sembahan / ilah selain Allah Ta’ala
2. Mereka melakukan tahrif ma’nawy (penyelewengan makna) terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala (memalingkan makna ayat dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk akal, yang mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan sejelek-jelek tahrif. Contohnya mereka menafsirkan ayat :تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَب
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
2. Mereka melakukan tahrif ma’nawy (penyelewengan makna) terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala (memalingkan makna ayat dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk akal, yang mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan sejelek-jelek tahrif. Contohnya mereka menafsirkan ayat :تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَب
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
Mereka menafsirkan
‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -radhiallahu anhuma-.
3. Mereka berkeyakinan bahwa semua syari’at dan aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin. Yang zhahir -menurut mereka- adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka. Contohnya shalat lima waktu, zhahirnya adalah dengan mengerjakan shalat, sedangkan batinnya -dan hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui rahasia-rahasia mazhab mereka. Jadi, siapa yang telah mengetahui rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah dianggap melaksanakan shalat walaupun tidak melakukan gerakan-gerakan shalat. Puasa batinnya adalah menyembunyikankan rahasia-rahasia kelompok mereka. Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah menziarahi kuburan guru-guru mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka apakah masih ada ajaran agama yang tersisa dengan keyakinan mereka ini ?!.
4. Ibnu Katsir -rahimahullah- menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang Saleh, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khomer, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Tholib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
3. Mereka berkeyakinan bahwa semua syari’at dan aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin. Yang zhahir -menurut mereka- adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka. Contohnya shalat lima waktu, zhahirnya adalah dengan mengerjakan shalat, sedangkan batinnya -dan hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui rahasia-rahasia mazhab mereka. Jadi, siapa yang telah mengetahui rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah dianggap melaksanakan shalat walaupun tidak melakukan gerakan-gerakan shalat. Puasa batinnya adalah menyembunyikankan rahasia-rahasia kelompok mereka. Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah menziarahi kuburan guru-guru mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka apakah masih ada ajaran agama yang tersisa dengan keyakinan mereka ini ?!.
4. Ibnu Katsir -rahimahullah- menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang Saleh, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khomer, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Tholib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. Al-Isra` : 36)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. Al-Isra` : 36)
Dan Allah Ta’ala
berfirman:
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86). (Lihat Majmu’ Al-Fatawa (22/120)
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86). (Lihat Majmu’ Al-Fatawa (22/120)
Sedikit info saja bahwa pertama kali
penentuan muharram itu adalah awal tahun hijriyyah adalah pada masa khalifah
umar bin khattab yang ketika itu mendapat surat balasan yang berisi kritikan
karena surat yang dikirimkan khalifah umar bin khattab itu tidak tertera angka
tahun, hanya ada tanggal dan bulan saja, lalu umar bin khattab mengumpulkan
beberapa sahabat untuk bermusyawarah tentang hal ini, dan satu riwayat
menerangkan ada 3 usulan dalam musyawarah tersebut diataranya adalah:
1. Menyamakan penanggalan Islam dengan penanggalan yang
ada saat itu (Romawi).
2. Mengambil Tahun kelahiran rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
3. Menggunakan peristiwa Hijrah
Namun umar bin khattab lebih memilih usulan
yang ketiga yaitu menggunakan peristiwa hijrah. Kenapa bulan muharram yang
dipilih sedangkan peristiwa hijranya Nabi itu terjadi pada hari kamis akhir
bulan safar dan keluar dari persembunyian gua thur pada awal bulan rabiul awwal
tepatnya pada hari senin 13 september 622 masehi. Alasannya adalah pada bulan
muharram lah Rasulullah menyusun rencana hijrah namun pelaksanaanya pada bulan
safar, so… itulah alasan umar bin khattab makanya namanyapun tahun hijriyyah
yang diambil dari kata hijrah. Tapi dari situ sampai tahun berikutnya tidak ada
satupun sahabat yang merayakan tahun baru islam, dan baru ada pada abad ke 4
hijriyyah, padahal kalau mau merayakan, para sahabat lebih layak merayakannya
karena mereka tahu kejadiannya, ada pada saat rapat penetapan tahun hijriyyah
dan paling mengetahui sejarahnya, namun kenyataan mengatakan bahwa tidak
satupun dari mereka yang merayakannya. Sekarang saya serahkan semuanya kepada
anda wahai pembaca yang budiman, jika kita tidak merayakannya maka kita
sependapat dengan orang-orang yang
dijamin surga yakni para sahabat, tapi jika kita merayakannya berarti kita
sependapat dengan kaum fathimiyyun yang sesat menyesatkan karena merekalah yang
pertama kali merayakannya, tinggal dipilih saja…
Beberapa Fatwa ulama tentang perayaan tahun
baru hijriyyah
Fatwa Mufti Saudi
Arabia samahatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –Rahimahullah-
Pertanyaan :
bolehkah memberi selamat dan merayakan tahun baru islam?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
bolehkah memberi selamat dan merayakan tahun baru islam?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs. Ali Imran:31)
Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)
2. Hukum Merayakan Tahun
Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin
Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di
tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1
Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin
oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum
memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar
Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh
Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala
ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang
Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Syaikh ditanya :
Telah banyak tersebar di berbagai
negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu
merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai
hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu.
Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka
ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan
hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat
hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah.
Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan
mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan
mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga
Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan
ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Syaikh menjawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu,
atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari
raya (‘Ied) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada
adat.
Oleh karena itu ketika Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk
Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau
bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang
kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut
dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar
dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya
menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya
syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan
penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka
dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka.
Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari
raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat
bahaya lain.
Allah berfirman :
Maukah kamu mengambil yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS. Al-Baqarah : 61)
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih
Al-’Utsaimîn pada 24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû
Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
3. Hukum Memberi Ucapan
“Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan
masuknya bulan Muharram:
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru islam. Bagaimana menjawab
ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab:
Jika seseorang mengucapkan
selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan
yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya:
”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan dan
keberkahan ditahun ini kepada anda”
Tapi jangan anda yang mulai, karena
saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari raya.
Bahkan Salafus Shalih tidaklah menganggap 1 muharram sebagai awal tahun baru
sampai zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Ini sama juga untuk ucapan-ucapan
yang biasa beredar semisal “Kullu ‘aamin wa antum bi khoirin”.
Juga mengenai Hari Raya Lebaran,
boleh mengucapkan “Mohon maaf lahir batin” dan yang semisal selama tidak
mengandung dosa.
Para pembaca yang budiman, dari penjelasan di atas,
jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai
Hari Besar Islam tidak boleh, karena:
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum
muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam.
Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru nashrani / Masehi,
namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru
Islam.
Dan penjelasan di atas menerangkan
bahwa haramnya memperingati tahun baru islam, ini baru tahun baru islam,
bagaimana dengan tahun baru selain islam seperti tahun baru masehi,, jelas
sangat lebih tidak boleh lagi hukumnya karena di dalamnya terdapat banyak kemungkaran
yang terjadi seperti mabuk2an, pacaran, konser music, ikhtilath, mengganggu
orang lain dengan petasan dan suara kembang api di tengah malam yang mana itu
bukan ajaran islam, bahkan tidak sedikit terjadi perzinaan dan berbagai
kemaksiatan lainnya, mereka meninggalkan shalat malam bahkan shalat subuh
karena begadang semalam suntuk. Para ulama mencela perayaan tersebut terlebih
yang merayakannya mayoritas kaum muslimin, sungguh sangat ironis sekali mereka
mengaku islam, dan marah jika agamanya di hina tapi perayaan jahiliyyah dan
orang2 kafir mereka laksanakan, sungguh musibah yang besar untuk kaum muslimin.
Maka dari itu marilah kita hilangkan kebiasaan merayakan tahun baru masehi atau
tahun barunya orang2 kafir.
Wallâhu a’lam bish shawâb
syukran ilmunya
BalasHapusdtunggu ilmu2 selanjutnya
BalasHapusAfwan
BalasHapusSyukron atas kerendahan hatinya untuk membaca secuil ilmu ini,, barokallahu fik