Sebagian kaum muslimin masih belum mengerti makna dan
konsekuensi kalimat syahadat, mereka hanya mengetahui kalimatnya saja dan
mereka ucapkan tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Dua kalimat
syahadat ini adalah kalimat thoyyibah yang mana dengan kalimat inilah seseorang
dikatakan seorang muslim. Rasulullah Bersabda:
"Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan
harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan
mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan
selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]
Namun perlu diketahui pengucapan tanpa keyakinan
adalah sia-sia belaka, maka dari itu pengucapan kalimat syahadat diperlukan
pengetahuan dan keyakinan yang kuat bukan hanya pengucapan saja karena iman adalah di ucapkan
oleh lisan, diyakini oleh hati, dan dilaksanakan oleh anggota tubuh. Seseorang belum
dikatakan beriman jika tidak merealisasikan tiga paket tersebut, sebagaimana
firman Allah menerangkan perkataan orang-orang munafik:
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan:
"Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan
orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” ( Al-Baqarah : 8-10 )
MAKNA LA ILAA HA
ILLALLAH
Kebanyakan bahkan bisa dikatakan masyhur makna la ilaa ha
illallah adalah tidak ada tuhan kecuali Allah. Sadar atau tidak, makna seperti
ini adalah sebuah kesalahan dimana makna tersebut jauh dari tauhid yang benar. Fahami
baik-baik makna tersebut, “ tidak ada tuhan kecuali Allah” ini berarti seluruh
sembahan-sembahan yang berada di muka bumi
ini adalah Allah, jika ada yang membantah makna kecuali di situ adalah
pengecualian bukan pengkultusan, maka tetap saja maknanya tidak sejalan dengan
kenyataan yang ada sekarang ini, yang mana banyak sekali tuhan-tuhan selain
Allah yang disembah oleh orang-orang kafir musyrik, ada latta, uzza, manat, ada
yang menyembah matahari, batu, kuburan, hewan, patung-patung dan lain
sebagainya yang mana itu semua dijadikan tuhan-tuhan selain Allah. Lantas apa
makna yang benar…? Makna la ilaa ha illallah yang benar adalah la ma’buda bil
haqqin illallah yang artinya tidak ada ilah ( sesembahan ) yang berhak di
ibadahi kecuali Allah, Allah Berfirman:
(yang artinya): “Yang
demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah Dialah (tuhan) yang haq dan
Sesungguhnya segala sesuatu yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil.
Dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Hajj:
62).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka barangsiapa yang
ingkar kepada sesembahan selain Allah dan beriman pada Allah, sungguh dia telah
berpegang pada tali yang sangat kuat.” (QS. Al Baqarah:256)
Dalam kalimat la ilaa ha illallah terdapat 2 rukun yang
wajib kita imani yakni penafian ( tidak ada sembahan yang haq ) dan penetapan (
kecuali Allah ). Artinya adalah seluruh sembahan yang ada seperti kuburan,
patung-patung, jin, batu dan lain sebagainya adalah batil dan haram untuk
disembah, karena masih banyak kaum muslimin yang melakukan demikian, mereka
minta-minta kepada kuburan orang shalih, mengadakan sesajen untuk jin, mencari
keberkahan di tempat-tempat tertentu yang tidak ditetapkan syari’at bahkan ada
yang menyembah akal mereka, mendahului akal daripada wahyu Allah, menolak syari’at
Allah dengan congkak, mereka itu sungguh berada dalam kesesatan yang nyata, (
saya berlindung dari yang demikian itu ). Allah berfirman:
Artinya: “ hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya
kepada-Mu kami minta pertolongan .” ( Al-Fatihah : 5 )
Dan penetapan dalam kalimat la ilaa ha illallah maknanya
adalah mengesakan Allah dalam rububiyyah ( penciptaan ), uluhiyyah (
peribadatan ), dan asma’ wash sifat ( nama-nama dan sifat Allah ) serta
keikhlasan dalam beribadah, tidak mengharap sesuatu kecuali pahala dari Allah,
seluruh amal kita, ibadah kita dan setiap gerak gerik kehidupan kita, kita
ikhlaskan untuk Allah semata, tidak mengharap pujian dari manusia, tidak
mengharap balasan harta kekayaan.
Maka dari itu pemaknaan yang tersebar luas baik dalam
kitab-kitab ataupun yang disebutkan oleh para penceramah seperti “ tidak ada
tuhan kecuali Allah”, ini adalah pemaknaan yang salah karena pada kenyataannya
banyak tuhan-tuhan selain Allah, ada juga yang memaknai “ tidak ada tuhan
melainkan Allah” ini justru pemaknaan yang menyesatkan karena itu berarti
tuhan-tuhan yang ada di muka bumi ini adalah allah, ada juga yang mengartikan “
tidak ada pencipta kecuali allah” inipun tidak cukup karena hanya membatasi
rububiyyahnya ( penciptaan ) saja, maka yang betul adalah la ma’buda bil haqqin
illallah yakni tidak ada ilah ( sembahan ) yang paling berhak disembah ( diibadahi
) kecuali allah. dan bukan itu saja, pengucapan la ilaa ha illallah tanpa di iringi pengetahuan tentang maknanya dan keimanan yang kuat, maka dikhawatirkan ucapan itu hanya isapan jempol semata, berikut penjelasan ringkas syeikh albani dalam masalah ini
"Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas
dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab
terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap
kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan
perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya
tempat kembalinya adalah Surga.
Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita."
Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita."
( At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq,
penerjemah Fariq Gasim Anuz]
MAKNA ASYHADU ANNA
MUHAMMADAN ABDUHU WA RASULUHU
Makna bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yaitu bahwa
kita beriman kepada beliau, membenarkan apa yang beliau bawa, dan tidak
bersifat berlebihan kepada beliau karena beliau juga hanyalah seorang manusia
biasa, hanya saja beliau adalah utusan Allah, seorang yang terbebas dari
kesalahan, maka kita wajib memuliakan beliau apa adanya, tidak berlebihan
karena Rasulullah sendiri tidak suka sikap berlebihan. Ironisnya ada yang
menyembah kubur beliau, bertawassul kepada beliau dan lain-lain, ini merupakan
sikap berlebihan. Serta mengimani bahwa beliau adalah penutup para nabi dan
rasul.
Dari penjelasan yang sangat ringkas di atas, maka dapat kita
simpulkan bahwa dengan 2 kalimat syahadat tersebut, terdapat syarat yang harus
kita penuhi, diantaranya yaitu:
1. Mentauhidkan Allah
Ini adalah syarat mutlak yang harus kita laksanakan Karena
kalau tidak, berapa kali pun kita mengucapkan la ilaa ha illallah maka tidak
akan bermanfa’at sedikitpun di dunia dan akhirat. Percuma saja kita mengucapkan
La ilaa ha illah tapi masih meminta-minta pada kuburan, mengadakan
sesaji-sesaji kepada jin, meminta pertolongan kepada jin, bekerja sama dengan
jin, memelihara benda-benda pusaka, meyakini ramalan-ramalan, mempercayai
adanya pencipta selain Allah, menolak nama dan sifat yang telah Allah tetapkan,
dan yang tidak kalah penting yakni membuat syari’at baru dalam agama karena
syari’at yang membuatnya adalah Allah maka jika ada yang membuat syari’at baru
dia masuk ancaman Allah yang telah berfirman:
Artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang lalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”
( Asy-Syuura : 21 )
Ini adalah sejelas-jelas dalil bahwa hanya Allah yang berhak
menentukan syari’at, barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak di
izinkan Allah, maka dia telah tersesat sangat jauh. Imam asy-Syafi’I berkata: “
barangsiapa menganggap baik sesuatu ( yang tidak dilandasi oleh syari’at islam
) maka dia telah membuat syari’at, barangsiapa yang membuat-buat syari’at, maka
dia telah kufur “
2. Ikhlas
Allah berfirman ( yang artinya ): Kecuali
orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada
(agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka
mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan
memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
Banyak disepelekan
orang namun berdampak besar bagi kehidupan dunia dan akhirat, itulah ikhlas. Ikhlas
menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur
dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika
sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini
adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat
bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang
wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Artinya: “Dan perempuan mu’min
yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Sedangkan menurut istilah Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakekat dari
devinisi tersebut sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas
adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk
Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka
hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang
mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan
amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan
suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan
manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu
itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya
engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang
diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya
kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar
manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena
yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak
meridhoimu).
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan
yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak)
dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini
derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik
daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia
adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan
dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan
Robbmu.
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu
memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang
memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan
engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka
sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan
manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan
batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari
pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya
setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika
engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu
dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan
engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau
telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan
Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih
pedih. ( Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad
Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).
Dan ikhlas meliputi seluruh aspek peribadatan bahkan sampai dakwah. Selayaknya
inilah yang harus diperhatikan oleh para da’i kaum muslimin yakni berdakwah
hanya mengharap wajah Allah semata, bukan harta, popularitas dan lain
sebagainya. Tidak sedikit da’i yang memasang tarif untuk berceramah
menyampaikan agama Allah, gila popularitas, ingin dipandang sebagai orang alim
sehingga mereka bangga terhadap jumlah pengikut mereka. Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran.
Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang
kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan
mereka, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar
pujian manusia.
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”
(Berkata Syaikh Abdul Malik , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam
Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan
Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu
Duror hal. 45).
Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab
Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu,
dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak
tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang
bahagia (masuk surga)”.
Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub
(As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum
yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan
cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati
orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub”
(Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249),
dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.”
(Sittu Duror hal 46)).
Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin
tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku
tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama
Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu
Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat
baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Dan masih banyak sekali contoh dari para imam salaf yang sangat
hati-hati dan takut akan riya’ dan sum’ah ( ingin di puji orang ).
3.
Ittiba’
Secara bahasa artinya mengikuti dan menurut istilah adalah mencontoh
Rasulullah dalam seluruh aspek peribadatan tanpa menambah dan menguranginya. Allah
berfirman
Artinya: “...Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” ( Al-Hasyr : 7 ) dan juga firman-Nya:
Artinya: ” Katakanlah
( wahai muhammad ) "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Ali imran : 31 )
Perlu diketahui bahwa
syarat diterimanya ibadah seseorang adalah karena 2 hal:
-
Ikhlas
-
Ittiba’
Tidak akan diterima
ibadah seseorang jika tidak menggabungkan 2 syarat di atas, jika ada seseorang
yang beribadah dengan ikhlas namun tidak ittiba’ ( sesuai tuntunan Nabi ) maka
tidak akan diterima ibadahnya karena pada dasarnya dia mengingkari firman
Allah:
Artinya: “..Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..” ( Al-Ma’idah : 3 )
Agam islam ini telah
sempurna dan sudah baku, tidak perlu ada penambahan dan tidak pula pengurangan,
maka dari itulah jika seseorang beribadah tanpa tuntunan Rasulullah maka dia
telah mencacati kesempurnaan islam. Namun ada juga yang beribadah sesuai
tuntunan Rasulullah namun tidak mengikhlaskan ibadahnya karena Allah, entah
ingin dipuji orang atau yang lainnya, maka inipun tidak akan diterima oleh
Allah, Allah berfirman:
Artinya: “(tetapi dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan
kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” ( Al-Bayyinah : 20-21 )
Itulah balasan orang
yang hanya mengharap wajah Allah semata. Dari ayat ini hukum sebab akibat
berlaku disini, siapa yang ikhlas maka mendapat kepuasan dan siapa yang tidak
ikhlas maka tidak akan mendapat kepuasan bahkan mendapatkan adzab.
Namun yang lebih
celaka lagi adalah seseorang beribadah kepada Allah namun tidak ikhlas karena
Allah dan tidak pula sesuai tuntunan Nabi shalallahu alaihi wasallam, akan jadi
seperti apa orang ini. Maka 2 paket itulah yang harus di penuhi oleh seorang
hamba ketika ia beribadah kepada Allah. wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika komentar berbau sara dan provokasi, kami akan menghapusnya