Rabu, 26 Desember 2012

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan- bag. 6 [Ziarah Kubur Ortu Setiap Jum'at]

http://warisansalaf.files.wordpress.com/2010/08/hadits-dhaif_warisansalaf-wp.jpg?w=240&h=130
PENDAHULUAN

Kajian kali ini menyoroti masalah yang sering dilakukan banyak orang dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah yang harus dilakukan, yaitu berziarah kubur setiap hari Jum’at.
Apakah perbuatan ini ada landasannya? Apakah hadits yang berkenaan dengan itu dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya.

HADITS PERTAMA:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فيِ كُلَّ جُمُعَةٍ؛ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بِرًّا
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”

Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)

Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini dikeluarkan oleh ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (II:228), dari jalur Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara Marfu’.

‘Illat (Penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali. Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata, “Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim), Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat yang ditinggalkan (Matruk).”

Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang Dla’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai pembohong. Imam Ahmad mengatakan, “Ia seorang pembohong, suka memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibn ‘Adi

‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah Idhthiraab (inkonsistensi dalam periwayatannya).

Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu keduanya meninggal dunia, lantas ia (orang tersebut, sang anak-red) datang ke kuburannya setiap malam. Abu Hatim mengatakan, “Sanad hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar, sepertinya ia hadits MAWDHU’.”
HADITS KEDUA:
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ، فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ (يس)؛ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya setiap hari Jum’at, lalu membaca (surat Yaasiin) di sisi keduanya (di sisinya), niscaya diampuni baginya sebanyak bilangan setiap ayat atau huruf (yang dibacanya-red)”

Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)

Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady (I:286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (II:344-345), Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (II:91) dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’.

Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah Ibn al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’, bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).”

‘Illat (penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan ad-Daruquthni.

Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid) sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan Mawdhu’ (palsu) tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan ‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam kajian ini) yang juga adalah hadits MAWDHU’ sehingga tidak layak menjadi Syahid. Ada dua alasan: Pertama, karena secara makna keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak. Kedua, seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’ ash-Shaghir bahwa Ibn al-Jawzi telah menilai hadits itu Mawdhu’ namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya Mawdhu’, bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun.

Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca al-Qur’an di sisi kuburan tetapi kenyataannya di dalam sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan mengingat akhirat. Itu saja.! Dan seperti inilah amalan para ulama Salaf ash-Shalih.

Jadi, membaca al-Qur’an di sisi kuburan itu adalah Bid’ah Makruuhah. Demikian seperti yang dinyatakan sejumlah ulama terdahulu seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat sebagaimana yang dimuat dalam kitab Syarh al-Ihya’ karya az-Zabidi (II:285). Di dalam bukunya ini, az-Zabidi mengatakan, “karena tidak ada as-Sunnah yang menyatakan seperti itu…” Selanjutnya az-Zabidi menyebutkan pendapat ulama yang lain, yang menyatakan tidak makruh seraya berargumentasi dengan riwayat yang dinisbatkan pada Ibn ‘Umar bahwa ia mewasiatkan agar dibacakan di atas kuburannya ketika akan dikuburkan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya.

Tetapi Syaikh al-Albani mengomentari dengan mengatakan, “Atsar ini tidak shahih dinisbatkan kepadanya (Ibn ‘Umar). Kalau pun shahih, maka hanya menunjukkan pembacaannya ketika akan dikuburkan, bukan secara mutlak seperti yang nampak. Karena itu, wahai saudaraku, sesama Muslim! Berpeganglah dengan as-Sunnah, hindarilah bid’ah sekali pun dipandang baik oleh banyak orang sebab setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana dikatakan oleh Nabi .”

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah Wal Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, no.49 dan 50, dengan sedikit diringkas)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-bag. 5 [Barangsiapa Yang Tidur Setelah 'Ashar...]

http://warisansalaf.files.wordpress.com/2010/08/hadits-dhaif_warisansalaf-wp.jpg?w=240&h=130
Mukaddimah

Selama ini barangkali banyak di antara kita yang masih beranggapan bahwa tidur setelah ‘Ashar tidak dibolehkan dengan berpegang kepada hadits ini.
Nah, benarkah demikian? Apakah hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan? Berikut penjelasannya!


Naskah Hadits
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, maka akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri.”

Kualitas Hadits

Hadits ini DHA’IF (LEMAH).

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara Marfu’.

Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat (III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts.

Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts dari hadits Ibn Lahii’ah.”

Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah, terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red), dari Anas secara marfu’.

Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211); as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”

Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam ath-Thibb an-Nabawi (II:12), dari ‘Amr bin al-Hushain, dari Ibn ‘Ilaatsah, dari al-Awza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. ia periwayat hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan. Kualitas hadits ini adalah palsu. Lihat: silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah Wa al-Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, no.40, Jld.I, hal.114-red)

Komentar Syaikh al-Albani

Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Layts tersebut di mana hal itu menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya, tidak aneh sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal.

Dan saya tahu persis, banyak ustadz-ustadz saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan).!”

Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi yang datang setelah mereka dan lebih diidentikkan dengan mereka yang pemahamannya, khususnya dari sisi ‘Aqidah bertolak belakang dengan Salaf, wallahu a’lam-red).

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, hal.113-114, no.39, dengan sedikit perubahan)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-bag. 4 [Berbincang-bincang Di Masjid…]

http://warisansalaf.files.wordpress.com/2010/08/hadits-dhaif_warisansalaf-wp.jpg?w=240&h=130
Mukaddimah

Ada sementara orang yang beranggapan bahwa memperbincangkan masalah-masalah duniawi di dalam masjid tidak dibolehkan.

Barangkali hal itu mereka lakukan karena ghirah diniyyah (semangat keagamaan) mereka dan rasa penghormatan yang tinggi terhadap masjid, sekali pun ada banyak di antara mereka pula yang entah secara sadar atau tidak juga mencemari keagungan masjid, seperti merokok di dalamnya saat ada acara tertentu padahal bau rokok dalam banyak hal, lebih tidak sedap dari bau bawang yang Rasulullah melarang orang yang memakannya (tidak mencuci mulutnya dengan bersih hingga hilang) untuk mendekati masjid.

Nah, benarkah ngobrol-ngobrol tentang dunia tidak dibolehkan di masjid? Apakah kualitas hadits mengenainya dapat dipertanggung-jawabkan? Silahkan simak!

Naskah Hadits
اْلحَدِيْثُ فِي اْلمَسْجِدِ يَأْكُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ اْلبَهَائِمُ اْلحَشِيْشَ
“Berbincang-bincang di masjid akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana binatang-binatang ternak memakan rerumputan.”

Kualitas Hadits

Hadits ini Tidak ada asal (dasar)-nya.

Takhrij Hadits

Hadits ini diketengahkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyaa` ‘Uluumid Din (I/136). Kemudian, pentakhrij hadits kitab ini, al-Hafizh al-‘Iraqi berkata, “Aku tidak menemukan akar (dasar)-nya.” Hal ini juga dicatat al-Hafizh di dalam kitab Takhrij al-Kasysyaaf.

‘Abdul Wahhab bin Taqiyuddin as-Subki di dalam kitab Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah (IV/145147), “Aku tidak menemukan sanadnya.”

Sedangkan teks yang masyhur dalam perbincangan orang-orang (dari mulut ke mulut) berbunyi, “Pembicaraan yang mubah (dibolehkan, bukan haram) di masjid akan memakan semua kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” padahal itu itu juga.

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, h.60, no.4)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-bag. 3 [Besar-besarkan Qurban...]

http://warisansalaf.files.wordpress.com/2010/08/hadits-dhaif_warisansalaf-wp.jpg?w=240&h=130
Mukaddimah

Pada menjelang hari-hari ‘Idul Qurban banyak kita dengar para khatib membacakan hadits-hadits yang intinya memberikan sugesti agar kita berkurban, tetapi kadangkala di antara hadits-hadits tersebut banyak yang perlu ditinjau ulang lagi, apakah kualitasnya terjamin alias dapat dijadikan hujjah atau kah tidak.?

Salah satunya adalah hadits yang kita kaji kali ini, silahkan simak selanjutnya.!!

Teks Hadits
عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Besar-besarkan qurban-qurban kamu sebab ia akan menjadi kendaraanmu di atas shirath (kelak).”

Kualitas hadits: Tidak ada asalnya dengan lafazh semacam ini.

Ibn ash-Shalaah berkata, “Hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit (valid).”

Dinukil oleh syaikh Isma’il al-‘Ajluny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa`, sebelumnya dinukil oleh Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulashah (Jld.II, h.164), dia menambahkan, “Menurutku, pengarang Musnad al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh “Istafrihuu” sebagai ganti lafazh “’Azhzhimuu” (di atas). Kedua-duanya bermakna, “Berkurbanlah dengan qurban yang mahal, kuat dan gemuk.”

Syaikh al-Albany mengomentari: “Dan sanadnya Dla’if Jiddan (lemah sekali).

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.I, h.173-174, no.74)

Di dalam buku yang sama, jld.III, h.411, no.1255, Syaikh al-Albany mengetengahkan hadits lainnya yang semakna dengan hadits di atas, hanya berbeda lafazh saja, yaitu dengan teks:
اِسْتَفْرِهُوْا ضَحاَيَاكُمْ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ
Syaik al-Albany mengomentari:
Kualitasnya Dla’if Jiddan (Lemah Sekali). Hadits ini diriwayatkan oleh adl-Dliyaa` di dalam kitab al-Muntaqa Min Masmuu’aatihi Bi Marw (Jld.II, h.33), dari Yahya bin ‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata, ‘Aku mendengar Abu Hurairah berkata, … Lalu ia menyebutkannya secara marfu’.”

Menurutku (Syaikh al-Albany):

“Sanad ini Dla’if Jiddan ( sangat lemah ) . Alasannya, ada cacat pada periwayat bernama Ibn ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Mawhib al-Madany. Ahmad berkata, ‘Ia bukan periwayat yang Tsiqah.’ Ibn Abi Hatim dari ayahnya berkata, “Ia seorang periwayat hadits yang lemah, bahkan hadits yang diriwayatkannya Munkar Jiddan.” (Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang lemah bertentangan dengan riwayat-riwayat para periwayat yang Tsiqat-red.,).

Imam Muslim dan an-Nasa`iy berkata, “Haditsnya ditinggalkan (tidak digubris).”

Sedangkan ayahnya, ‘Ubaidullah adalah seorang periwayat yang Majhul (anonim).

Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad berkata (lafazh ini berasal dari Ahmad), “Ia periwayat yang tidak dikenal.”

Sedangkan Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya “ats-Tsiqaat” yang berkata, “Anaknya, Yahya meriwayatkan darinya, padahal ia tidak ada apa-apanya sedangkan ayahnya seorang periwayat yang Tsiqah. Terjadinya hadits-hadits Munkar pada haditsnya karena bersumber dari anaknya, Yahya.”

Kemudian saya (Syaikh al-Albany) melihat bahwa al-Hafizh Ibn Hajar dalam bukunya Talkhiish al-Habiir (Jld.IV, h.138) berkata, “Dikeluarkan oleh pengarang Musnad al-Firdaus dari jalur Yahya bin ‘Ubaidullah bin Mawhib…Dan Yahya adalah seorang periwayat yang Dla’if Jiddan.”

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.III, h.411, no.1255)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan- bag. 2

 

HADITS KE-DUA
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarany di dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabiir (3:106:2- dalam transkrip azh-Zhaahiriyyah), al-Qudlaa’iy di dalam Musnad asy-Syihaab (43:2), Ibn Abi Haatim di dalam Tafsir Ibn Katsiir (II:414) dan al-Kawkab ad-Daraary (83:2:1) dari jalur Laits dari Thâwûs, dari Ibn ‘Abbas.

Pendapat Para Ulama Hadits

1. al-Haafizh, Ibn Hajar berkata –ketika menyebutkan biografi Laits (salah seorang periwayat dari jalur hadits ini) di dalam bukunya Taqriib at-Tahdziib-, “Seorang yang Shaduuq, di akhir hayatnya banyak berubah (ngelantur) sehinggga tidak dapat membedakan haditsnya. Karena itu, dia ditinggal (tidak digubris perinwatannya).”

2. al-Haafizh al-‘Iraaqy di dalam bukunya Takhrîj al-Ihyaa` (takhrij hadits-hadits yang ada di dalam buku Ihyaa` ‘Uluum ad-Diin-red.,) pada jld.I, h.143, “Sanadnya Layyin.”

3. al-Haitsamy di dalam bukunya Majma’ az-Zawaa`id (I:134) juga mengaitkan cela/cacat hadits ini pada periwayat bernama Laits tersebut.

Di antara Komentar Syaikh al-Albany

Sanad hadits di atas lemah karena kapasitas seorang periwayatnya yang bernama Laits -bin Abi Sulaim-. Dia seorang yang lemah.

Al-Haafizh bin Jarîr juga mengeluarkan hadits ini di dalam tafsirnya (20:92) dari jalur yang lain, dari Ibn ‘Abbas secara Mawquuf (alias perkataan tersebut berasal darinya). Nampaknya inilah yang benar sekalipun di dalam sanadnya tersebut terdapat seorang yang anonim.

Imam Ahmad juga meriwayatkannya di dalam kitab az-Zuhd (h.159) dan ath-Thabarany di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dari Ibn Mas’ud secara Mawquuf dengan lafazh,
مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ الصَّلاَةُ بِاْلمَعْرُوْفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ اْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mengajaknya untuk berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari berbuat kemungkaran, niscaya ia hanya semakin membuatnya jauh.”

Sanadnya Shahiih sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Haafizh al-‘Iraaqy sehingga kembali kepada status Mawquuf.

Secara global, penisbahan hadits ini kepada Nabi SAW., tidak shahih. Ia hanya shahih berasal dari ucapan Ibn Mas’ud, al-Hasan al-Bashary dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas. (untuk lebih rincinya, silahkan rujuk ke sumber kajian ini)

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah karya Syaikh al-Albany, no.2, h.54-59)


Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan- bag. 1 ( agama adalah akal )

http://warisansalaf.files.wordpress.com/2010/08/hadits-dhaif_warisansalaf-wp.jpg?w=240&h=130

Mukaddimah

Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya sehingga umat menjadi melek karenanya.

Salah satu upaya yang patut diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu).

Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah.

Tentunya, setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh Syaikh al-Albany tersebut.

Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya.

Terlepas dari hal itu, setidaknya apa yang kami muat ini kiranya dapat menjadi bekal bagi para pembaca untuk lebih berhati-hati di dalam menjalankan agama dan barangkali juga bisa mengingatkan orang-orang yang belum mengetahuinya. Rasulullah bersabda, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (ghaib).”

Semoga amal ibadah dan niat kita senantiasa kita lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridla-Nya dan bernilai ikhlash, amin.


1. HADITS PERTAMA
الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama itu adalah akal, dan siapa yang tidak memiliki agama, maka berarti dia tidak berakal.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam an-Nasa`iy di dalam kitab “al-Kuna” dan juga dikeluarkan darinya oleh ad-Dûlâby di dalam kitab “al-Kuna wa al-Asmâ`” dari Abu Malik, Bisyr bin Ghâlib bin Bisyr bin Ghâlib dari az-Zuhry dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ dengan tanpa dimulai dengan kalimat pertama di atas “ad-Dîn Huwa al-‘Aql” .

Pendapat Para Ulama Hadits

1. Imam an-Nasa`iy, “Ini adalah hadits Bathil dan Munkar.”
2. Ibn Hajar (ketika mengomentari lebih kurang 30-an hadits tentang keutamaan akal yang dikeluarkan oleh al-Hârits bin Abi Usâmah di dalam musnadnya) berkata, “Semuanya Mawdlu’”
3. Ibn al-Qayyim, “Hadits-hadits tentang akal semuanya adalah dusta.”

Komentar Syaikh al-Albany

Alasan kelemahan hadits ini adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhûl (anonim) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdy dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby di dalam kitabnya Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd ar-Rijâl dan Ibn Hajar al-‘Asqalâny di dalam bukunya Lisân al-Mîzân.

Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dla’if dan Mawdlu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “al-‘Aql wa Fadl-luhu” karya Abu Bakar bin Abu ad-Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi ad-Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zâhid al-Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.

(SUMBER: Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albany, no.1, h.53-54)

Rabu, 19 Desember 2012

PRO KONTRA NIKAH SIRRI, SAH ATAU TIDAK…?



http://static.arrahmah.net/images/stories/10/nikah-sirri2-1.jpg

Telah tersebar luas dan menjadi perbincangan bahwa banyak diantara kaum muslimin melakukan nikah sirri. Sah atau tidak pernikahan tersebut baik dari kacamata agama maupun Negara…? Bagi yang pro pasti akan berteriak sah dan bagi yang kontra akan berteriak tidak sah. Kali ini saya akan mengajak para pembaca untuk bersikap objektif dan tidak mengikuti hawa nafsu untuk menilai ke absahan nikah sirri tersebut. Pertama-tama kita dudukkan terlebih dahulu masalahnya supaya teratur dalam memahaminya.

1.       NIKAH

Nikah secara bahasa berasal dari bahasa arab yang berarti jima ( bersenggama ) atau yang biasa kita sebut kawin. Makanya orang Indonesia sering mengatakan “ nikah dulu baru kawin “ pernyataan ini tentu mengundang kebingungan orang yang mengerti bahasa karena nikah dan kawin itu artinya sama hanya berbeda bahasa saja.
Sedangkan menurut istilah adalah lawan kata dari zina, yakni sebuah ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan menghalalkan perkawinan yang dengannya terbentuklah sebuah keluarga. Di dalam ajaran islam, nikah sangatlah di anjurkan bahkan diwajibkan karena dengannya Allah subhanahu wata’ala akan memberi berkah terhadap kehidupan kita. Allah berfirman:
Artinya: “…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( QS. An-Nisa : 3 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memberi nafkah hendaklah nikah. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya. “(HR. Bukhari)
Ada satu kisah menarik yang patut dijadikan perhatian dan pelajaran bagi kita, pada suatu ketika datang 3 orang pemuda menemui aisyah dan menanyakan ibadahnya Rasulullah, lalu aisyah berkata Rasulullah melaksanakan shalat, puasa, dan menikahi wanita. Kemudian seorang pemuda itu berkata, “ sesungguhnya rasulullah telah diampuni dosanya, maka dari itu aku akan shalat seharian penuh tanpa tidur” yang satunya lagi mengatakan “ aku akan berpuasa tanpa berbuka “ lalu yang satunya lagi mengatakan “ aku tidak akan menikah, hanya focus kepada ibadah saja”. Mendengar hal itu Rasulullah keluar dan memarahi ketiganya, beliau menyanjung Allah terlebih dahulu dan bersabda: “ aku yang paling tahu tentang Allah dibanding kalian, akan tetapi aku shalat dan aku pun tidur, aku berpuasa dan akupun berbuka, dan aku mengawini perempuan, barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari golongan umatku” ( muttafaqun alaihi )
Lihatlah ancaman yang begitu keras dari Rasulullah terhadap orang yang tidak mau menikah. Karena dengan menikah berarti dia telah menyempurnakan separuh agamanya.

2.       SIRRI

Sirri berarti perlahan atau rahasia, dia terambil dari kata as-sirru yang berarti rahasia dan bisa berarti perlahan. Makanya shalat dzuhur dan ashar disebut shalat sirriyyah karena bacaanya tidak dikeraskan atau dipelankan baik berjama’ah atau munfarid ( shalat sendiri ).
Sekarang kita masuk kepada pembahasan utama yakni nikah sirri. Apa arti nikah sirri itu..? berdasarkan penjelasan di atas maka nikah sirri itu adalah pernikahan yang dirahasiakan. Dibenarkan atau tidak pernikahan seperti ini. Sebelum membahasnya kita kumpulkan persepsi masyarakat terlebih dahulu tentang nikah sirri. Sepanjang sepengetahuan saya, ada 2 pendapat masyarakat mengenai nikah sirri,
1)      Nikah tanpa wali atau saksi
2)      Nikah di bawah tangan ( tanpa adanya pencatatan resmi dari lembaga kenegaraan / KUA )
Jika yang dimaksud adalah yang pertama, maka tidak diragukan lagi pernikahanya tidak sah karena wali ataupun saksi merupakan syarat sah nikah. Saya kira saya tidak perlu mengemukakan dalil tentang ini karena masalah ini telah kita ketahui, dalil tentang diharuskannya ada wali dan saksi semuanya berderajat shahih bahkan mutawatir sebagaimana ditegaskan oleh ibnu hajar al-asqolaniy dalam kitab at-talkhis al-habir, beliau mengatakan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadits wajibnya ada wali. Dan tentu pendapat yang pertama ini oleh pihak KUA pun tidak akan diterima karena sepengetahuan saya, saya bersyukur kepada Allah ,KUA menerapkan hukum islam dalam masalah nikah. Maka tidak ada celah bagi kita untuk tidak menta’atinya.

Namun jika pendapat yang kedua yang dimaksud, jika telah terpenuhi syaratnya maka nikahnya sah secara agama walau tidak tercatat di lembaga resmi Negara. Itu kalau ditanya sah atau tidak mak jawabannya sah, tapi jika pertanyaanya boleh atau tidak, menurut hemat saya tidak boleh karena beberapa alasan, diantaranya:
Pertama: Melanggar firman Allah yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟  ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. ( QS. An-Nisa : 59 )

pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah. Beranikah anda menentang perintah Allah yang satu ini…?

Kedua : Melemahkan ikatan pernikahan, dengan adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21. surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.

Ketiga: pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita. Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan. walhasil jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..

Keempat, menyulitkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki  akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda. Masalah kecil jadi besar, dari tidak punya surat nikah jadi merembet kemana-mana masalahnya.
Terlepas dari itu semua, nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan, sepanjang sepengetahuan saya ( tolong diralat jika salah ) tidak dilaksanakan walimah, sementara walimah pada pernikahan hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi:

Artinya: “ adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing “ ( HR. Bukhari dan Ahmad )

Silakan anda cek pada kitab shahih bukhari dan musnad imam ahmad, bahwa Rasulullah memerintahkan walimah dan beliau pun melaksanakannya dan tidak ada satupun ulama yang mengingkarinya. Mungkin timbul pertanyaan bagaimana jika tidak mampu mengadakan walimah walau satu ekor kambing..? jawab, maka boleh kurang darinya yang penting di adakan walimah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh anas bin malik bahwa Rasulullah membebaskan shafiyya dan menikahinya dan menjadikan pembebasannya itu sebagai mahar, dan mengadakan walimah dengan hais ( makanan dengan bahan kurma, tepung, dan samin ). Bahkan di riwayat yang lain Rasulullah pernah megadakan walimah hanya dengan 2 mug gandum.
Lantas apa faedah hadits dengan satu ekor kambing di atas..? menurut ahli hadits, seperti ibnu hajar, bahwa satu ekor kambing itu batas minimal untuk orang yang mampu, adapun yang tidak mampu boleh kurang darinya. Perlu diketahui bahwa nikah dengan walimah berbeda. Nikah adalah prosesi akad, sedangkan walimah adalah pesta makan-makan.

Kesimpulannya adalah nikah sirri sebaiknya ditinggalkan karena mudharatnya lebih besar dibanding manfa’atnya, telah sah dari islam bahwa jika mudharat lebih dominan dari maslahatnya maka hukumnya haram. Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dan ini bertentangan dengan perintah Nabi untuk mengumumkan pernikahan baik di umumkan kepada masyarakat atau pemerintah, bukankah dahulu ketika ada arak-arakan para wanita menabuh rebana mengiringi salah satu mempelai, ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah tentang arak-arakan itu, dan Rasulullah mengatakan, tidak mengapa, umumkan pernikahan karena ia bukan perzinaan. Dan Allah pun berfriman:

Artinya : “janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia". [al- Baqarah: 235].

Sederhananya seperti ini, seandainya nikah secara diam-diam itu boleh atau sah, lantas kenapa harus diam-diam ( sirri ), bukankah disebarluaskannya pernikahan jauh lebih selamat dan bermanfa’at…? Kita hendak nikah, nikahlah, tapi tidak dengan dirahasiakan karena akan menimbulkan banyak fitnah, hilang faedah nikah yang ditentukan syari’at islam jika nikah sirri pun boleh, nikah sirri tidak dikenal pada zaman Rasulullah, ini tentu akan mencacati kesempurnaan syari’at islam yang mulia.
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat sacral, tidak layak dijadikan main-main, nabi mengatakan ada 3 hal yang seriusnya menjadi serius dan guraunya menjadi serius pula, yaitu talak, nikah dan rujuk ( HR. Abu hanifah ). Pernikahan sirri ini telah menodai kesakralan pernikahan, nikahnya secara diam-diam, bahkan tidak ada walipun jadi, cerainya saja dengan begitu mudah tanpa dilandasi alasan yang dibenarkan islam, La haula wala quwwata illa billah.
wallahu a’lam bish shawwab.


Senin, 17 Desember 2012

KONSEKUENSI 2 KALIMAT SYAHADAT

http://1.bp.blogspot.com/_0TeUgwPDq5k/SA32QcpAcII/AAAAAAAAAA8/TWVUVuEDopY/s200/104027_1imgquranpic2-l.jpg

Sebagian kaum muslimin masih belum mengerti makna dan konsekuensi kalimat syahadat, mereka hanya mengetahui kalimatnya saja dan mereka ucapkan tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Dua kalimat syahadat ini adalah kalimat thoyyibah yang mana dengan kalimat inilah seseorang dikatakan seorang muslim. Rasulullah Bersabda:

"Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]

Namun perlu diketahui pengucapan tanpa keyakinan adalah sia-sia belaka, maka dari itu pengucapan kalimat syahadat diperlukan pengetahuan dan keyakinan yang kuat bukan hanya pengucapan saja karena iman adalah di ucapkan oleh lisan, diyakini oleh hati, dan dilaksanakan oleh anggota tubuh. Seseorang belum dikatakan beriman jika tidak merealisasikan tiga paket tersebut, sebagaimana firman Allah menerangkan perkataan orang-orang munafik:

Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” ( Al-Baqarah : 8-10 )


MAKNA LA ILAA HA ILLALLAH

Kebanyakan bahkan bisa dikatakan masyhur makna la ilaa ha illallah adalah tidak ada tuhan kecuali Allah. Sadar atau tidak, makna seperti ini adalah sebuah kesalahan dimana makna tersebut jauh dari tauhid yang benar. Fahami baik-baik makna tersebut, “ tidak ada tuhan kecuali Allah” ini berarti seluruh sembahan-sembahan yang berada di muka bumi  ini adalah Allah, jika ada yang membantah makna kecuali di situ adalah pengecualian bukan pengkultusan, maka tetap saja maknanya tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sekarang ini, yang mana banyak sekali tuhan-tuhan selain Allah yang disembah oleh orang-orang kafir musyrik, ada latta, uzza, manat, ada yang menyembah matahari, batu, kuburan, hewan, patung-patung dan lain sebagainya yang mana itu semua dijadikan tuhan-tuhan selain Allah. Lantas apa makna yang benar…? Makna la ilaa ha illallah yang benar adalah la ma’buda bil haqqin illallah yang artinya tidak ada ilah ( sesembahan ) yang berhak di ibadahi kecuali Allah, Allah Berfirman:

 (yang artinya): “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya segala sesuatu yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil. Dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Hajj: 62). 

Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka barangsiapa yang ingkar kepada sesembahan selain Allah dan beriman pada Allah, sungguh dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat.” (QS. Al Baqarah:256)

Dalam kalimat la ilaa ha illallah terdapat 2 rukun yang wajib kita imani yakni penafian ( tidak ada sembahan yang haq ) dan penetapan ( kecuali Allah ). Artinya adalah seluruh sembahan yang ada seperti kuburan, patung-patung, jin, batu dan lain sebagainya adalah batil dan haram untuk disembah, karena masih banyak kaum muslimin yang melakukan demikian, mereka minta-minta kepada kuburan orang shalih, mengadakan sesajen untuk jin, mencari keberkahan di tempat-tempat tertentu yang tidak ditetapkan syari’at bahkan ada yang menyembah akal mereka, mendahului akal daripada wahyu Allah, menolak syari’at Allah dengan congkak, mereka itu sungguh berada dalam kesesatan yang nyata, ( saya berlindung dari yang demikian itu ). Allah berfirman:

Artinya: “ hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan .” ( Al-Fatihah : 5 )

Dan penetapan dalam kalimat la ilaa ha illallah maknanya adalah mengesakan Allah dalam rububiyyah ( penciptaan ), uluhiyyah ( peribadatan ), dan asma’ wash sifat ( nama-nama dan sifat Allah ) serta keikhlasan dalam beribadah, tidak mengharap sesuatu kecuali pahala dari Allah, seluruh amal kita, ibadah kita dan setiap gerak gerik kehidupan kita, kita ikhlaskan untuk Allah semata, tidak mengharap pujian dari manusia, tidak mengharap balasan harta kekayaan. 

Maka dari itu pemaknaan yang tersebar luas baik dalam kitab-kitab ataupun yang disebutkan oleh para penceramah seperti “ tidak ada tuhan kecuali Allah”, ini adalah pemaknaan yang salah karena pada kenyataannya banyak tuhan-tuhan selain Allah, ada juga yang memaknai “ tidak ada tuhan melainkan Allah” ini justru pemaknaan yang menyesatkan karena itu berarti tuhan-tuhan yang ada di muka bumi ini adalah allah, ada juga yang mengartikan “ tidak ada pencipta kecuali allah” inipun tidak cukup karena hanya membatasi rububiyyahnya ( penciptaan ) saja, maka yang betul adalah la ma’buda bil haqqin illallah yakni tidak ada ilah ( sembahan ) yang paling berhak disembah ( diibadahi ) kecuali allah. dan bukan itu saja, pengucapan la ilaa ha illallah tanpa di iringi pengetahuan tentang maknanya dan keimanan yang kuat, maka dikhawatirkan ucapan itu hanya isapan jempol semata, berikut penjelasan ringkas syeikh albani dalam masalah ini

"Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :

[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.

Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.

"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]

Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :

"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].

Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :

"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita."

( At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]


MAKNA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WA RASULUHU

Makna bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yaitu bahwa kita beriman kepada beliau, membenarkan apa yang beliau bawa, dan tidak bersifat berlebihan kepada beliau karena beliau juga hanyalah seorang manusia biasa, hanya saja beliau adalah utusan Allah, seorang yang terbebas dari kesalahan, maka kita wajib memuliakan beliau apa adanya, tidak berlebihan karena Rasulullah sendiri tidak suka sikap berlebihan. Ironisnya ada yang menyembah kubur beliau, bertawassul kepada beliau dan lain-lain, ini merupakan sikap berlebihan. Serta mengimani bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul.
Dari penjelasan yang sangat ringkas di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dengan 2 kalimat syahadat tersebut, terdapat syarat yang harus kita penuhi, diantaranya yaitu:

1.       Mentauhidkan Allah
Ini adalah syarat mutlak yang harus kita laksanakan Karena kalau tidak, berapa kali pun kita mengucapkan la ilaa ha illallah maka tidak akan bermanfa’at sedikitpun di dunia dan akhirat. Percuma saja kita mengucapkan La ilaa ha illah tapi masih meminta-minta pada kuburan, mengadakan sesaji-sesaji kepada jin, meminta pertolongan kepada jin, bekerja sama dengan jin, memelihara benda-benda pusaka, meyakini ramalan-ramalan, mempercayai adanya pencipta selain Allah, menolak nama dan sifat yang telah Allah tetapkan, dan yang tidak kalah penting yakni membuat syari’at baru dalam agama karena syari’at yang membuatnya adalah Allah maka jika ada yang membuat syari’at baru dia masuk ancaman Allah yang telah berfirman:

Artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” ( Asy-Syuura : 21 )

Ini adalah sejelas-jelas dalil bahwa hanya Allah yang berhak menentukan syari’at, barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak di izinkan Allah, maka dia telah tersesat sangat jauh. Imam asy-Syafi’I berkata: “ barangsiapa menganggap baik sesuatu ( yang tidak dilandasi oleh syari’at islam ) maka dia telah membuat syari’at, barangsiapa yang membuat-buat syari’at, maka dia telah kufur “

2.       Ikhlas
Allah berfirman ( yang artinya ): Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.

Banyak disepelekan orang namun berdampak besar bagi kehidupan dunia dan akhirat, itulah ikhlas. Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, 

Artinya: “Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).

Sedangkan menurut istilah Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakekat dari devinisi tersebut sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu.
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. ( Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).

Dan ikhlas meliputi seluruh aspek peribadatan bahkan sampai dakwah. Selayaknya inilah yang harus diperhatikan oleh para da’i kaum muslimin yakni berdakwah hanya mengharap wajah Allah semata, bukan harta, popularitas dan lain sebagainya. Tidak sedikit da’i yang memasang tarif untuk berceramah menyampaikan agama Allah, gila popularitas, ingin dipandang sebagai orang alim sehingga mereka bangga terhadap jumlah pengikut mereka. Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).

Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.

Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)).

Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).

Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Dan masih banyak sekali contoh dari para imam salaf yang sangat hati-hati dan takut akan riya’ dan sum’ah ( ingin di puji orang ).

 3.       Ittiba’
 
Secara bahasa artinya mengikuti dan menurut istilah adalah mencontoh Rasulullah dalam seluruh aspek peribadatan tanpa menambah dan menguranginya. Allah berfirman

Artinya: “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” ( Al-Hasyr : 7 ) dan juga firman-Nya:

Artinya: ” Katakanlah ( wahai muhammad ) "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Ali imran : 31 )

Perlu diketahui bahwa syarat diterimanya ibadah seseorang adalah karena 2 hal:
-          Ikhlas
-          Ittiba’

Tidak akan diterima ibadah seseorang jika tidak menggabungkan 2 syarat di atas, jika ada seseorang yang beribadah dengan ikhlas namun tidak ittiba’ ( sesuai tuntunan Nabi ) maka tidak akan diterima ibadahnya karena pada dasarnya dia mengingkari firman Allah:

Artinya: “..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..” ( Al-Ma’idah : 3 )

Agam islam ini telah sempurna dan sudah baku, tidak perlu ada penambahan dan tidak pula pengurangan, maka dari itulah jika seseorang beribadah tanpa tuntunan Rasulullah maka dia telah mencacati kesempurnaan islam. Namun ada juga yang beribadah sesuai tuntunan Rasulullah namun tidak mengikhlaskan ibadahnya karena Allah, entah ingin dipuji orang atau yang lainnya, maka inipun tidak akan diterima oleh Allah, Allah berfirman:

Artinya: “(tetapi dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” ( Al-Bayyinah : 20-21 )

Itulah balasan orang yang hanya mengharap wajah Allah semata. Dari ayat ini hukum sebab akibat berlaku disini, siapa yang ikhlas maka mendapat kepuasan dan siapa yang tidak ikhlas maka tidak akan mendapat kepuasan bahkan mendapatkan adzab.

Namun yang lebih celaka lagi adalah seseorang beribadah kepada Allah namun tidak ikhlas karena Allah dan tidak pula sesuai tuntunan Nabi shalallahu alaihi wasallam, akan jadi seperti apa orang ini. Maka 2 paket itulah yang harus di penuhi oleh seorang hamba ketika ia beribadah kepada Allah. wallahu a'lam